Benarkah BNN Tak Berwenang Tindak Kasus Pil PCC?
- Dwi Royanto
VIVA – Pengungkapan kasus paracetamol caffeine carisoprodol (PCC) di Semarang pada akhir pekan lalu oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menuai kritik. BNN dinilai tidak berwenang mengusut kasus tersebut, sebab PCC bukanlah narkotika sebagaimana yang ruang lingkup kewenangan BNN yang diatur Undang-Undang.
"Mengingat BNN hanya berwenang untuk mengurusi narkotika dan secara hukum PCC bukanlah narkotika," kata Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, 5 November 2017.
Yohan menjelaskan Pasal 70 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa tugas BNN adalah memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 1 ayat 1 UU Narkotika menyebutkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisinteti yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Kemudian, Pasal 6 ayat 3 UU Narkotika mengatur ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. "Merujuk pada sejumlah peraturan diatas, semestinya BNN hanya mengerjakan kasus yang zatnya memang sudah disebut dalam lampiran UU Narkotika," ujar Yohan.
Menurut dia, berdasarkan lampiran UU narkotika yang terakhir, yakni Peraturan menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017, tidak mencantumkan PCC di dalam zat diatas.
LBH Masyarakat memadang, yang lebih tepat mengurus soal PCC secara hukum ialah Polri. Kasus ini lebih tepat dikenakan dengan Pasal 196 dan atau Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melarang produksi dan peredaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar kualitas dan tanpa izin edar. Ancaman melanggar pasal ini dihukum maksimal 15 tahun penjara.
"Polri berwenang untuk menyelesaikan perkara di UU Kesehatan, sedangkan BNN tidak memiliki kewenangan tersebut. Wewenang BNN terbatas pada UU Narkotika saja," terang Yohan.
Menurutnya, BNN sendiri hanya berwenang untuk menangani hal ini apabila zat-zat kandungan narkotika atau prekursor yang sudah terdaftar dalam Permenkes 41/2017 di dalam sampel pil-pil yang menuntun BNN ke pengungkapan ini atau di dalam pil-pil yang di dapatkan dalam upaya penggebrekan ini.
LBH Masyarakat mendukung penuh upaya penghentian peredaran obat-obatan ilegal. Namun dalam melakukan upaya pemberantasan, penegak hukum tetap perlu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan ketentuan hukum. "Jangan sampai kasus dan temuan sepenting ini kemudian tidak dapat diproses lebih jauh karena persoalan pelanggaran hukum acara," katanya. Â
Sebelumnya, BNN bersama Kepolisian Polda Jawa tengah telah berhasil mengamankan 13 juta butir pil PCC di Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu, 3 Desember 2017. Pil yang sejatinya untuk obat sakit jantung dan penenang itu, dikemas dengan berbagai jenis paket berbeda dan siap diedarkan.
PCC merupakan obat yang mengandung Karisoprodol atau obat keras. Obat ini telah ditarik dari peredaran sejak tahun 2013. Dahulu pengguna PCC ditujukan untuk meringankan pengidap sakit jantung, karena memberi efek relaksasi.
Namun kemudian, empat tahun setelah ditarik, ternyata pil PCC muncul kembali di beberapa daerah. Salah satunya adalah Kendari. Hampir 200 pelajar dilaporkan menggunakan ini.
Dari jumlah itu, hampir setengahnya dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa lantaran berperilaku aneh dan tidak menentu. Berawal dari kasus itu kemudian terungkap mereka menggunakan Pil PCC dan memiliki efek seperti pengguna narkoba Flakka di luar negeri.