Reuni 212, Politik atau Persatuan Umat?
- VIVA/Rianto
VIVA – Reuni 212 yang berlangsung Sabtu 2 Desember 2017 menyisakan perdebatan. Pangkalnya dari pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menyebutkan reuni itu bermotif politik.
Pengamat politik Sirajuddin Abbas memandang, peringatan Aksi Bela Islam III tahun lalu itu memang kental dengan aroma politik. Dia melihat pertemuan umat Islam itu bisa dibilang sebagai konsolidasi kelompok pemilih muslim untuk menyambut momen Pilkada 2018, dan Pileg dan Pilpres setahun setelahnya.
Dia mengakui, memang dukungan politik tidak jelas dan tegas dinyatakan secara formal, namun dari isu dan kemasan acara reuni itu menurutnya lekat aroma politik.
"Meski ada komponen ritual Maulid Nabi, tapi kalau kita dengar dari awal, dilihat pidato tokoh (yang hadir) terlihat sekali komponen politiknya cukup besar, apakah (pidato) Fadli Zon, Amien Rais, itu cukup jelas," ujar Sirajuddin di tvOne, Minggu 3 Desember 2017.
Sirajuddin menuturkan, memang pihak yang mengikuti Reuni 212 secara normatif akan membantah tudingan aroma politik. Namun menurutnya, tetap tak bisa dihilangkan dari bagaimana riwayat perjalanan lahirnya aksi 212 yang melengserkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjaha Purnama atau Ahok, pada tahun lalu.
Dia mengingatkan, ada potensi kekuatan besar umat pada Reuni 212 bisa diarahkan pada dukungan kekuatan politik tertentu, baik secara formal atau non formal. Sebab baginya, jumlah massa yang besar dan solid bisa menjadi magnet bagi partai politik.
Dia mengkritik, jika memang motif reuni 212 adalah persatuan umat, seharusnya tokoh yang diundang dalam acara tersebut bukan hanya figur politik dari parpol yang membela kubu tertentu saja. Menurutnya akan lebih melegakan, bila penyelenggara juga menghadirkan figur politik dari kubu lain untuk membuktikan klaim persatuan umat tersebut.
"Kalau persatuan umat, harusnya hadir juga dong parpol lain, bukan hanya tiga parpol saja," ujarnya menjelaskan.
Kekhawatiran lain selain pengarahan ke dukungan politik tertentu, menurut Sirajuddin yakni, Reuni 212 tersebut disusupi agenda lain yang bertentangan dengan prinsip NKRI. "Jangan sampai supaya agenda kebangkitan khilafah masuk ke situ, jangan implisit persatuan umat, tapi (kemudian) mendukung khilafah juga," ujarnya.
Menjawab tudingan Sirajuddin, figur Reuni 212 KH Didin Hafidudin menjelaskan, acara kemarin jauh dari aroma politik. Reuni 212, menurutnya, jelas merupakan ekspresi persatuan umat Islam dari seluruh Indonesia.
Buktinya, kata Didin, peserta reuni datang dari berbagai strata sosial dan berbagai wilayah dengan ikhlas, menyewa pesawat dan bus dengan biaya pribadi, bahkan ada yang rela sampai jalan kaki, untuk datang ke acara tersebut.
Reuni itu sekaligus untuk menegaskan kepada dunia bahwa muslim Indonesia cinta damai dan menjaga kebhinekaan serta NKRI. "Yang dominan itu membangun ukhuwah kebersamaan persatuan umat. Umat yang rindu seperti ini, persatuan lintas madzhab dan organisasi. Terlalu kecil ini kalau dilihat gerakan politik, kalau ya wajar saja tapi ini kecil," ujarnya.
Didin mengakui, memang aksi 212 pada tahun lalu memang terkait dengan Ahok. Namun kala itu konteksnya adalah keinginan umat dalam penegakan dan keadilan hukum, bukan yang lain. "Bahwa yang tahun lalu terkait dengan gubernur, itu betul. Tapi bukan soal politik, tapi urusan penistaan agama dan ketidakadilan. Bukan kebencian kepada pemerintah apalagi ingin menggeser posisi tertentu. Yang dimunculkan masalah kezaliman," katanya.
Soal kekhawatiran, massa 212 yang bakal diarahkan mendukung kekuatan politik tertentu, Didin memastikan umat Islam Indonesia tak gampang membebek arahan politik tertentu.
Menurutnya umat Islam tidak bodoh dalam konteks politik. Jika nantinya massa 212 diarahkan ke dukungan atau deklarasi kepada kekuatan politik tertentu, Didin meyakini, peserta 212 akan berpikir dua kali dan tidak serta merta ikut saja.
"Umat tidak bodoh, seakan akan mau diarahkan. Kalau deklarasi parpol mereka akan nanti dulu. jangan selalu diarahkan ke situ lah. Masalah parpol adalah masalah pilihan lain dan belum tentu (umat muslim) mau," ujarnya berdalih.
Sedangkan soal kehadiran tokoh politik dalam Reuni 212 yang dipandang hanya mewakili satu kubu parpol saja, Didin berdalih, beberapa tokoh yang hadir dalam acara kemarin bukan perwakilan parpol, namun utusan dari wakil rakyat. "Kapasitas Fadli Zon sebagai kapasitas DPR." (mus)