Perda Larangan Rokok Dinilai Matikan Pedagang Kelontong
- ANTARA FOTO/Yusran Uccang
VIVA - Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok atau yang biasa disebut KTR dinilai sebagai regulasi yang mematikan industri tembakau atau rokok.
Menurut Direktur Pakta Konsumen Harry Cahya, Perda KTR adalah turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang kesehatan yang secara terperinci mewajibkan produsen rokok mencantumkan bahaya merokok dalam kemasan, gambar dampak buruk merokok, kandungan tar dan nikotin, hingga pemasangan iklan rokok dan penetapan kawasan tanpa rokok.
Permasalahannya, kata Harry, di dalam Perda KTR telah melarang penjual rokok atau distributor rokok memasang iklan atau display di warung-warung atau toko yang masuk ke dalam kawasan tanpa asap rokok.
"Jadi ada beberapa daerah yang menerbitkan Perda KTR dengan melarang penjual rokok itu memasang display rokok di warung-warung. Nah, ini sama saja dengan pemerintah melarang para pedagang itu menjual rokok secara bebas," kata Harry dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa, 28 November 2017.
Lebih jauh ia katakan, padahal di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Larangan Kegiatan menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau, tidak mengatur atau tidak memberlakukan tentang larangan mempromosikan produk tembakau untuk kepentingan penjualan di lingkungan kawasan tanpa rokok.
"Nah ini yang kami lihat bertolak belakang, di Peraturan Pemerintah yang menjadi induknya itu tidak melarang, tapi di Peraturan Daerah justru beberapa pemerintah daerah memberlakukannya. Ini yang diperlukan kepastian hukum sebenarnya," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Litbang Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Sjukrianto Yulia menyatakan, Perda KTR yang melarang pedagang rokok memasang display rokok di warungnya telah mengalami penurunan omset sekitar 10 hingga 15 persen. Hal itu terjadi di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan penelusurannya, Sjukrianto melihat penjual tidak boleh lagi menjual rokok dengan display lantaran dalam Perda diatur demikian.
"Kepala daerah seperti terlihat pencitraan karena berpihak kepada orang sehat. Mencari popularitas, tapi lupa kebijakannya berimbas kepada orang yang hidup dari penjualan itu," katanya.
Menurut Sjukrianto, jumlah pasar tradisional di seluruh Indonesia tercatat 13.450 pasar. Dengan total pedagang sebanyak 12,6 juta pedagang.
"Sebanyak 2 juta di antaranya penjual kleontong. Dari 2 juta penjual kelontong tersebut, 10 -15 persennya penjual rokok. Omset mereka mencapai 40-70 persen yang diserap oleh negara. Kalau semua Perda sifatnya memusnahkan, bagaimana mereka bertahan hidup. Penjual rokok belum tentu semuanya perokok," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Direktorat Produk Hukum Daerah Kemendagri, Kurniasih, membantah bahwa ada inskonsitensi peraturan daerah dengan peraturan di atasnya. Menurutnya, tidak mengacunya regulasi yang dibuat daerah dengan peraturan di atasnya itu akibat minimnya sosialisasi.
Kurniasih mengakui ada beberapa daerah yang membuat regulasi karena minimnya sosialisasi akhirnya menghilangkan kata "dapat". Misalnya saja peraturan pemerintah menyebut dapat dilarang di beberapa tempat. Namun, implementasi Perda menjadi dilarang di beberapa tempat saja.
"Perda KTR perlu disikapi dengan bijak, sinkronisasi antara aturan yang lebih tinggi dan keinginan daerah untuk mengatur perlu dilakukan sosialisasi dan optimalisasi pembinaan dan pengawasan Pemerintah pusat. Sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan selaras," kata Kurniasih.
Kepala Daerah itu, kata Kurniasih, memiliki wewenang mengawal seluruh peraturan yang dibuat di seluruh kota kabupaten dan desa di daerah tersebut. Sementara, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) berfungsi memfasilitasi kepala daerah dalam menentukan Perda.
"Sudah ada regulasi, daerah dalam menyusun perda harus diselaraskan. Optimalisasi binwas menjadi penting. Pasal 89 Permendagri 2007. Mendagri memfasilitasi raperda-raperda, diantaranya KTR, kepala daerah atau Gubernur fasilitasi peraturan kabupaten daerah KTR. Semuanya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi," ucapnya.
Sedangkan, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menduga masih adanya budaya pemerintahan yang menganggap pembuatan regulasi sebagai sebuah proyek. Akibatnya, proses pembahasan hanya melibatkan sekelompok orang-orang tertentu yang menguntungkannya.