Sidang Gugatan Soal Pengusiran Etihad Airways Ditunda
- Rifki Arsilan
VIVA – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang putusan gugatan yang dilayangkan penyandang disabilitas bernama Dwi Ariyani, terhadap maskapai Etihad Airways yang telah menurunkan paksa penyandang disabilitas karena naik pesawat sendirian atau tanpa pendamping.
Persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ferry Agustina Budi Utami itu berjalan sangat singkat. Alasan majelis hakim menunda pembacaan putusan gugatan dengan nomer perkara : 846/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel itu lantaran majelis hakim belum siap membacakan putusan gugatan yang sudah dilayangkan sejak setahun lalu itu.
"Karena hakim belum siap dengan putusan, sidang pembacaan putusan hari ini kita tunda dua minggu lagi terhitung dari sekarang," kata Ferry Agustina di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 20 November 2017.
Pantauan VIVA, dalam sidang hadir kuasa hukum Etihad Airways, sementara dari pihak Dirjen Perhubungan Udara atau Kementerian Perhubungan tidak tampak di ruang sidang.
Menanggapi keputusan majelis hakim yang telah menunda pembacaan putusan tersebut, Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Penyandang Cacat Indonesia (LAPPCI) Heppy Sebayang mengaku sangat kecewa dengan majelis hakim. Pasalnya, alasan majelis hakim menunda persidangan karena majelis hakim belum siap membacakan putusan adalah alasan yang tidak masuk diakal.
"Kami rasa pertama waktu penundaan kita sudah cukup panjang, kurang lebih sekitar satu bulan, jadi menurut kami ini agak berlebihan juga kalau majelis beranggapan bahwa hari ini majelis belum siap dengan putusan. Karena waktu yang teralokasi sebenarnya sudah cukup panjang sampai hari ini," kata Heppy.
Terlebih lagi, kata Heppy, pihaknya juga kecewa dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurutnya, ketidakhadiran mereka sebagai salah satu pihak tergugat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia terkesan membiarkan persoalan penurunan penumpang pesawat yang dialami oleh penyandang cacat atau disabilitas di Indonesia.
"Dirjen Perhubungan sebagai institusi yang bertanggung jawab di Indonesia, juga tidak melakukan upaya mencari solusi kedua belah pihak. Makanya kita menggugat mereka karena alasan direktorat jenderal perhubungan udara juga tidak melakukan fungsi pengawasan dan pemberian sanksinya. Kami anggap ada keberpihakan mereka. Padahal kita sudah melaporkan kasus ini kemana-mana, ke Komnas HAM, ke Ombudsman, dan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, kasus penurunan paksa yang dialami oleh Dwi Ariyani oleh maskapai Etihad Airways merupakan preseden buruk di dunia penerbangan Indonesia. Terlebih lagi, alasan penurunan penumpang yang terjadi pada tanggal 8 Maret 2016 lalu karena Dwi Ariyani bepergian menggunakan pesawat sendirian atau tanpa pendamping.
"Nah ini yang sedang kita perjuangkan. Kenapa harus ada diskriminasi seperti ini. Bayangkan kalau setiap penyandang cacat atau yang menggunakan kursi roda harus didampingi baru bisa naik pesawat, itu artinya penyandang cacat dibebani dua tiket untuk setiap penerbangan. Padahal diaturannya jelas, bahwa yang harus didampingi itu adalah orang yang memang harus didampingi, seperti orang sakit parah, dan lain sebagainya," katanya.
Dengan gugatan ini, Dwi butuh kepastian hukum. Dia juga ingin pemerintah andil dalam kasus ini agar tidak terulang lagi.
Dia meminta tergugat membuat permintaan maaf kepada penggugat dan para penyandang disabilitas di Indonesia di lima media cetak dan tiga media elektronik. Para tergugat juga diminta mengganti kerugian materiel dan immateriil senilai Rp678 juta.
Diketahui sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang putusan terkait dengan gugatan diskriminatif yang dialami Dwi Ariyani. Dwi bersama LAPPCI telah menggugat tiga pihak sekaligus, pertama Maskapai Etihad Airways, kedua, PT Jasa Angkasa Semesta, dan ketiga yang turut digugat adalah Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Ini dilakukan atas kasus penurunan paksa yang dialami Dwi tahun lalu. .
Atas kasus tersebut, Dwi Ariyani gagal menghadiri undangan acara pelatihan tentang pendalaman Implementasi dan Pemantauan Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Internasional Disability Alliance (IDA) di Geneva, Swiss.