OPM Siapkan Sandera Jadi Perisai Hidup jika Diserbu Aparat
- VIVA.co.id/Banjir Ambarita
VIVA – Organisasi Papua Merdeka diyakini dalang di balik penyanderaan 1.300 warga sipil di dua kampung di Tembagapura, Timika, Papua, sejak 9 November 2017. Mereka menyiapkan para sandera sebagai perisai hidup ketika terjadi kontak senjata dengan aparat TNI maupun Polri.
Seperti dikatakan Habelino Sawaki, Ketua Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia, para penyandera yang pemerintah sebut sebagai kelompok kriminal bersenjata itu menolak bernegosiasi sekaligus telah mengantisipasi jika terjadi kontak senjata dengan aparat.
"Mereka ingin punya pagar hidup agar ketika diserbu ada perisai hidup," kata Habelino ketika berbicara dalam sebuah forum diskusi di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Kamis, 16 November 2017.
Dia mengingatkan, jika pemerintah atau aparat memaksa menggunakan pendekatan militer untuk penyanderaan itu, dipastikan jatuh korban yang tidak sedikit dari aparat, para sandera, maupun penyandera. Pihak yang paling dirugikan, katanya, jelas pemerintah karena gagal bernegosiasi hingga jatuh korban.
Habelino mengaku mendengar informasi bahwa kelompok penyandera, yang sesungguhnya kelompok OPM, sudah cukup lama bergerak dari basis mereka di Puncak Jaya ke Tembagapura, Timika. Namun, katanya, petinggi TNI maupun Polri menganggap enteng informasi itu, mengira tak mungkin OPM berani berulah di Tembagapura.
"Para jenderal over confidence (terlalu percaya diri); mereka mikir enggak mungkin, enggak mungkin ada penyerbuan,” kata Habelino, menganalisis.
Faktanya, kelompok itu sudah menguasai 1.300 warga sipil. Meski bukan penyanderaan langsung, cukup jelas bahwa aksi itu telah menawan ribuan orang; melarang warga meninggalkan kampung mereka dan memutus komunikasi dengan luar.
Freeport dan tambang emas
Habelino berpendapat, akar masalah penyanderaan itu sesungguhnya keberadaan PT Freeport Indonesia di sana. OPM memprotes karena keberadaan perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu tidak membawa banyak manfaat bagi masyarakat setempat.
Memang, katanya, Freeport sudah membangun sejumlah infrastruktur fisik di sana. Tetapi itu tidak cukup karena masyarakat setempat tak diberdayakan, terutama pada aspek pendidikan. "Enggak ada orang asli yang dalam jumlah banyak yang bisa studi di UI, dan seterusnya, itu fakta,” katanya, mencontohkan.
Masalah lain, menurut Habelino, keberadaan warga pendatang yang ikut menambang emas di sana, padahal daerah itu adalah kawasan terlarang. "Berarti ada negara yang turut main; ada aparat yang turut memfasilitasi pendulang-pendulang tambang," katanya.
Dia memperingatkan Panglima TNI da Kepala Polri agar menindak tegas aparatnya yang diduga kongkalikong di tambang emas Tembagapura itu. Soalnya sudah cukup banyak korban jatuh selama ini.
"Kami bisa kok baik-baik dalam negara ini. Tapi jangan selalu kami yang diperalat. Saya orang Papua tapi saya cinta Indonesia,” kata Habelino.