Ketua MPR Berdoa Siang Malam agar Tak Diciduk KPK

Ketua MPR Zulkifili Hasan dalam deklarasi antikorupsi di kampus Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Senin 13 November 2017.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifili Hasan, mengaku selalu khawatir ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Saking khawatirnya, dia selalu berdoa siang dan malam agar tak berurusan hukum dengan KPK, terutama gara-gara masalah korupsi atau suap.

KPK Klaim Berhasil Selamatkan Keuangan Daerah Rp114,3 Triliun

Kekhawatiran Zulkifli didasarkan pada agresivitas KPK menangkap tangan sejumlah pejabat negara, seperti disampaikannya ketika hadir dalam deklarasi antikorupsi di kampus Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Senin 13 November 2017. Dia mencontohkan, dalam sebulan terakhir ada lima kepala daerah ditangkap tangan KPK.

Zulkifli juga selalu waswas karena KPK tak segan terhadap pejabat tinggi negara. Dia menyebut, penangkapan terhadap Irman Gusman, mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, pada 2016. Kasus termutakhir ialah penetapan tersangka korupsi untuk Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Luncurkan 2 Buku Antikorupsi, Kapolri: Kalau Kita Baca Isinya Pedas

"Tinggal ketua MPR," kata Zulkifli kepada hadirin, yang di antaranya Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. "Apa enggak siang malam berdoa. Takut juga saya,” ujarnya disambut tawa sejumlah mahasiswa dan tamu undangan yang hadir.

Agar tidak berurusan dengan KPK, Zulkifli mengaku lebih selektif menerima tamu, khususnya yang datang ke kantor. “Tamu ke tempat saya enggak boleh bawa tas,” katanya.

Menag Nasaruddin Tegaskan Komitmen Antikorupsi, Seluruh Pejabat Kemenag Wajib Beri Teladan

Zulkifli pun menilai yang dilakukan KPK telah membuat lembaga itu dipercaya publik sekaligus sukses membuat takut semua orang. Namun anehnya, korupsi justru masih saja terjadi dan penindakan KPK tidak akan bisa menghilangkan korupsi di negeri ini.

“Saya telah melakukan diskusi-diskusi yang panjang. Dan isinya dapat disimpulkan telah terjadi inkonsistensi dan inkoherensi apa yang menjadi dasar kita berbangsa dan bernegara. Undang-Undang, Pancasila, dan turunannya itu, dan apa yang dilaksanakan terjadi inkonsistensi dan inkoherensi,” katanya.

Dari kasus tersebut, kata Zulkifli, ada lima faktor pemicu dan alasan yang belum berhasil diatasi. Pertama, soal kemiskinan. “Klasik kalau kemiskinan dibilang sekian persen,” katanya.

Masalah kedua adalah kesenjangan. Sekira satu persen orang kaya di negeri ini menguasai hampir 85 persen kekayaan negara, satu persen orang menguasai 70 persen sumber daya alam.

"0,09 tabungan jumlahnya rata-rata Rp5 miliar itu hampir separuhnya. Kemudian 0,43 persen memiliki tabungan di atas Rp2 miliar dan itu menguasai 90 persen jumlah uang di mana pun berada. Itu kesenjangan luar bisa, padahal kita Pancasila,” ujarnya menjelaskan.

Masalah ketiga ialah injustice penegakan hukum atau hukum yang dirasa tidak adil.

Masalah keempat adalah ketidaktaatan kepada penegak hukum. Berdasarkan hasil diskusi itu, andai ada dua KPK pun, korupsi tidak bisa diberantas.

"Memberantas korupsi tidak akan bisa dihabisi dengan cara yang seperti ini. Harus ada kesadaran dari diri sendiri. Kalau itu merasa tugas bersama maka akan ada rasa tanggung jawab. Itu soal nilai-nilai Pancasila, kebersamaan, senasib sepenanggungan. Harus ada rasa malu.” (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya