Hakim Anggap Miryam Haryani Bohong Ditekan Penyidik KPK
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai, Miryam S Haryani berbohong saat mengaku ditekan dan diancam penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu dikatakan majelis hakim dalam amar putusannya terhadap Miryam yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 13 November 2017.
Dalam pertimbangannya, hakim menganggap Miryam dengan sengaja memberikan keterangan tak benar saat bersaksi di Pengadilan.
"Keterangan terdakwa yang mengatakan ditekan dan diancam adalah keterangan yang tidak benar. Hal itu bertentangan dengan fakta, saksi dan alat bukti lain," kata hakim Anwar saat membacakan pertimbangan putusan.
Menurut hakim Anwar, pernyataan mantan anggota Komisi II DPR tersebut yang mengaku ditekan penyidik berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan tiga penyidik saat dihadirkan di persidangan.
Menurut para penyidik, saat dilakukan pemeriksaan, Miryam diberikan kesempatan beristirahat dan makan siang.
Selain itu, majelis meyakini, selama 4 kali pemeriksaan di KPK, Miryam selalu diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi berita acara pemeriksaan (BAP) sebelum ditandatangani.
Kemudian, hakim meyakini bahwa Miryam tak mendapat ancaman atau tekanan dari penyidik KPK diperkuat oleh laporan dan keterangan para ahli yang dihadirkan jaksa.
Kedua ahli tersebut di adalah Ahli psikologi forensik Reni Kusumowardhani dan ahli pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Noor Aziz Said.
Adapun, barang bukti berupa video pemeriksaan Miryam di kantor KPK telah diperiksa tim ahli psikologi forensik. Pemeriksaan itu kemudian dibuat dalam laporan analisis.
"Sebagaimana ahli tidak menemukan adanya tekanan, karena banyak pertanyaan pendek penyidik, dijawab dengan panjang lebar oleh terdakwa. Ahli mengatakan, dapat disimpulkan tidak ditemukan adanya tekanan," kata hakim Anwar.
Kemudian, hakim sependapat dengan keterangan ahli pidana Noor Aziz Said. Menurut ahli, daya paksa berupa tekanan atau ancaman harus secara nyata dirasakan, bukan sekadar anggapan.
"Terdakwa mengatakan terisolir, tapi dapat keluar masuk ruangan. Laporan ahli psikologi forensik menyatakan tidak ada tekanan dan pemaksaan, sehingga pencabutan keterangan terdakwa tidak punya alasan hukum," kata hakim Anwar.
Dalam kasus ini, Miryam divonis lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Hakim menilai, Miryam telah sengaja tidak memberikan keterangan dan memberikan keterangan yang tidak benar saat bersaksi dalam sidang perkara e-KTP.
Miryam juga dianggap dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam BAP KPK. Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto. (mus)