Hakim Tolak Praperadilan Tersangka Korupsi Heli AW 101
- VIVA/Bayu Januar
VIVA – Pengadilan praperadilan menolak mengabulkan gugatan yang diajukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh, tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101.
Hal tersebut disampaikan Hakim tunggal Pengadilan Megeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Kusno dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 10 November 2017.
Dalam pertimbangannya, hakim menganggap petitum yang diajukan pihak termohon tidak beralasan secara hukum.
"Mengingat, seluruh petitum pemohon telah ditolak karena tidak beralasan hukum maka permohonan praperadilan juga harus ditolak seluruhnya," ujar Hakim Kusno.
Dalam permohonannya, tim pengacara Irfan mempermasalahkan penyelidik yang menangani perkara tersebut karena bukan berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Dalam dalilnya, pemohon menggunakan dasar putusan praperadilan mantan Ketua BPK Hadi Purnomo, di mana gugatannya atas status penyidik KPK dikabulkan.
Namun, menurut Kusno, putusan itu telah dibatalkan putusan Mahkamah Agung sehingga putusan tersebut tidak bisa dijadikan alasan hukum. Ia pun menolak petitum pemohon atas status penyidik.
Kemudian, tim pengacara Irfan juga menganggap penetapan tersangka tidak sah karena tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
KPK kemudian membeberkan bukti-bukti berupa Berita Acara Permintaan Keterangan sejumlah saksi, ahli dan dokumen yang menguatkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan heli.
Dokumen tersebut meliputi surat kontrak kerja antara TNI Angkatan Udara dengan PT Diratama Jaya Mandiri, surat kontrak jual beli heli, hingga surat pernyataan pembatalan pembelian heli oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Irfan juga pernah dimintai keterangan di tingkat penyelidikan. Menurut hakim, bukti-bukti tersebut dapat dianggap memenuhi bukti permulaan yang mengarah ke tindak pidana.
"Dengan demikian, saat pemohon ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah menemukan bukti permulaan dan ada pemeriksaan atas pemohon berupa berita acara," kata Hakim.
"Sehingga penetapan tersangka oleh KPK telah memenuhi persyaratan sebagaimana disyaratkan MK," lanjut dia.
Selain itu, pihak Irfan menganggap penetapan tersangka tidak sah karena tidak didahului dengan penghitungan kerugian negara.
Hakim dapat menerima tanggapan KPK yang menyatakan bahwa sebelum penetapan tersangka, telah ada pertemuan antara KPK dengan BPK yang juga dihadiri Polisi Militer TNI dan PPATK mengenai adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan heli AW 101 pada 30 Maret 2017.
"Karena permohonan praperadilan yang diajukan pemohon sudah ditolak seluruhnya, maka pemohon harus dibebani biaya perkara," kata Kusno.
Sementara itu, kuasa hukum Irfan, Marbun enggan berkomentar mengenai putusan hakim yang menolak gugatan praperadilan yang diajukan kliennya tersebut.
"Kami tidak bisa komentar karena ini sudah putusan hakim, dan juga sudah tidak ada lagi banding, kasasi, dan PK (Peninjauan Kembali). Jadi putusan praperadilan final. Jadi saya beri komentar tehadap putusan hakim tidak etis," kata Marbun usai sidang.
Namun, ia mengungkapkan ada beberapa keputusan hakim yang tidak sependapat dengan tim kuasa hukum. Salah satunya adalah unsur kerugian keuangan negara.
"Menurut hakim itu sudah masuk pokok perkara. Itu kita berbeda pendapat. Dan menurut kita perkara korupsi ini unsur penting menimbulkan keuangan negara ada atau tidak. Harus ada hasil audit dari lembaga berwenang. Itu menurut kita. Tapi menurut hakim masuk pokok perkara," katanya.
Atas putusan ini, pihaknya kini mempersiapkan sidang pokok perkara kasus ini. "Ya sekarang bersiap hadapi perkara pokok," katanya.
Kasus Dilanjutkan
Salah seorang tim kuasa hukum KPK, Efi Laila mengapresiasi putusan hakim yang menolak gugatan praperadilan Irfan. Ia pun menegaskan, penetepan tersangka terhadap Irfan sudah berdasarkan alat bukti yang cocok.
"Kami mengapresiasi lah putusan itu, putusan dari hakim praperadilan, karena memang secara normatif UU KPK kan memang mengeluarkan ketentuan yang ada dalam pasal 89 KUHAP yang mengharuskan adanya tim koneksitas. Jadi memang penetapan tersangka sudah dilakukan berdasarkan alat bukti yang cocok," ucapnya.
Dengan adanya putusan ini, ia menuturkan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Heli AW 101 ini akan terus berjalan. Pihak KPK juga akan berkoordinasi dengan pihak TNI terkait putusan ini.
"Iya (terus berjalan) sesuai dengan putusan hakim Praperadilan bahwa sah. Tadi anda dengar seluruh petitumnya ditolak kan," katanya.
Dalam kasus helikopter AW-101, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka pertama dari swasta.
Diketahui, Irfan Kurnia Saleh diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
Pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.
Irfan selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang ini. Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak US$ 39,3 juta atau sekitar Rp514 miliar.
Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp224 miliar.
Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain Irfan, penyidik POM TNI telah menetapkan lima tersangka. Tiga di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.