Revisi UU Penyiaran Mendesak guna Kemajuan Teknologi
- Fajar GM
VIVA – Revisi terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dinilai sangat mendesak untuk mengadaptasi dunia penyiaran Indonesia, terhadap kemajuan teknologi informasi serta digital yang begitu pesat.
Komisioner Koordinator Bidang Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio menyampaikan bahwa rancangan dari revisi UU itu, salah satunya mengatur 'dividen digital', atau sisa alokasi frekuensi yang tidak lagi terpakai, karena sistem televisi digital tidak menggunakan alokasi frekuensi sebanyak televisi analog.
Di dalam rancangan revisi UU, dividen digital itu direncanakan supaya diatur penggunaannya untuk keperluan jaringan internet nirkabel yang juga bisa mendukung penerapan teknologi televisi digital.
"Ada kebutuhan lain dari (pelaksanaan revisi UU), selain untuk penyiaran, yaitu untuk internet," ujar Agung dalam Focus Group Discussion (FGD) 'Mengkaji Plus Minus Single dan Multi' yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa 7 November 2017.
Menurut Agung, pengaturan pemanfaatan dividen digital di dalam UU Penyiaran adalah salah satu prasyarat supaya kualitas jaringan internet di Indonesia meningkat, serta sejajar dengan negara-negara maju.
Upaya peningkatan kualitas jaringan internet sendiri, dianggap merupakan sesuatu yang wajib dilakukan mengingat, saat ini ada pergeseran tren konsumsi konten media oleh masyarakat di seluruh dunia.
"Perilaku penonton sudah beralih. Dari televisi ke smartphone. Bahkan, di kota-kota besar di Indonesia, maksimal menonton cuma dua jam, 40 menit. Di Eropa, sudah maksimal dua jam," ujar Agung.
Maka dari itulah, Agung menyampaikan, komitmen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menuntaskan revisi UU yang telah berlarut-larut ini sangat dibutuhkan. Sebab, Indonesia termasuk negara yang mengalami ketertinggalan dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi mutakhir di bidang informasi, penyiaran, serta digital.
"Memang, harus dilakukan dengan cepat pengesahan ini. Jangan sampai kemudian, kita ketinggalan dengan negara lain, seperti Bhutan, Myanmar, bahkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand," ujar Agung.
Hingga kini, penghalang migrasi digital adalah polemik akan memakai sistem single mux atau multi mux. Pada konteks demokrasi, single mux membutuhkan operator tunggal milik negara seperti TVRI atau Badan Layanan Umum (BLU). Operator ini bakal punya wewenang yang luas.
Tapi ada potensi penyalahgunaan, atau intervensi negara ke operator tunggal ini. Jelas, ini jadi ketakutan dari sistem single mux. Apalagi, kemampuan TVRI sebagai lembaga penyiaran pemerintah sebagai operator tunggal masih meragukan.
Sementara itu, menurut Sekretaris Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Neil Tobing, sistem multi mux sangat bisa diandalkan, karena mereka lebih berpengalaman dalam sistem penyiaran di industri ini.
"Kami punya zero tolerance, tak akan mati satu detik pun," katanya memastikan.