Multi Mux Tak Salahi UUD 1945
- Fajar GM
VIVA – Konsep multiplekser jamak atau multi mux dapat diatur penerapannya dalam dunia penyiaran di Indonesia melalui revisi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Konsep itu juga tidak menyalahi ketentuan tentang penggunaan sumber daya alam yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Neil R Tobing, frekuensi yang termasuk ke dalam klasifikasi sumber daya alam itu telah diatur pada Pasal 33 UUD 1945. Dan sejatinya bukanlah hak dan milik pemerintah.
"Pasal 33 itu harus dibaca secara utuh. Kata-kata penguasaan itu jelas dalam pengertian undang-undang, artinya 'dikontrol' atau 'diatur'. Bukan berarti dimiliki oleh negara," ujar Neil dalam Focus Group Discussion (FGD) 'Mengkaji Plus Minus Single dan Multi Operator Televisi Digital' yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Hotel Mercure, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa, 7 November 2017.
Neil menyampaikan, dalam pengelolaan frekuensi, pemerintah memiliki peran sebagai regulator. Sementara itu, pengelolaannya secara langsung bisa dilakukan rakyat atau dalam hal ini, para pemegang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
Selaku salah satu pelaku dalam dunia penyiaran, Neil merasa multiplekser jamak sebagai konsep penyiaran yang lebih tepat diatur dalam revisi UU Penyiaran.
"Kalau dengan konsep multi mux, yang pasti kompetisi menjadi lebih sehat. Karena para content provider menjadi memiliki pilihan, dari sisi harga, dari sisi layanan penyiaran, dan lain sebagainya," ujar Neil.
UU Penyiaran merupakan salah satu aturan yang rencana revisinya tak kunjung rampung sejak bertahun-tahun lalu. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini menargetkan penuntasan pembahasannya dilaksanakan pada tahun ini juga.