Revisi Regulasi Transportasi Online Akan Picu Polemik Baru

Aplikasi layanan transportasi berbasis pesan online.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek akan mulai berlaku pada 1 November 2017.

Siap-siap, Aturan Transportasi Online Baru Resmi Berlaku 12 Oktober

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai banyak dari poin-poin revisi itu yang berpotensi menimbulkan polemik baru, terutama terkait kredibilitas Permenhub baru tersebut.

Pertama, kata Bhima, regulasi baru itu akan memunculkan kembali butir-butir yang sudah pernah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Agung No.37P/HUM/2017 (PMA.37/2017), termasuk di antaranya mengenai pemberlakuan tarif atas dan tarif bawah, serta kuota jumlah kendaraan yang beroperasi.

Grab 'Bakar Duit' Rp7 Triliun di Vietnam, Takut Disalip Gojek

"Munculnya kembali pengaturan tarif dan kuota di revisi itu menunjukkan bahwa Kemenhub masih terjebak dalam paradigma lama yang berusaha mengatur sebuah model bisnis baru yang tumbuh karena inovasi teknologi dengan cara-cara lama seperti angkutan umum konvensional," kata Bhima dalam diskusi yang bertajuk 'Menyambut Revisi Permenhub Nomor 26/2017 dan Menilik Masa Depan Angkutan Online' yang digelar di Sanur Paradise Hotel, Denpasar, Sabtu, 28 Oktober 2017.

Menurut Bhima, kepastian hukum sangat penting sebagai penunjang kegiatan ekonomi pada sektor apapun, termasuk angkutan umum baik itu online atau konvensional.

Pesaing Gojek dan Grab Janji Tidak Menaikkan Tarif saat 'Rush Hour'

"Mengeluarkan peraturan yang berisiko untuk kembali diuji-materilkan karena memuat butir-butir yang sudah dicabut oleh keputusan MA sebelumnya bukanlah solusi untuk mengakhiri polemik antara angkutan umum konvensional dan online," kata dia.

Bhima berpendapat bahwa mekanisme penentuan harga angkutan online sebelum adanya Permenhub 26 Tahun 2017 yang mengatur soal tarif sudah menerapkan sistem dynamic pricing yang bergerak fleksibel mengikuti supply dan demand.

"Mekanisme pasar dalam penentuan harga sudah efektif selama terjadi persaingan yang sehat serta tidak ada price fixing. Yang harus ditindak tegas adalah penerapan predatory pricing," katanya.

Tapi itu merupakan ranah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memeriksa, menghitung dan menentukan, sama seperti ketika KPPU memberikan aturan tentang tarif pada industri penerbangan. Sehingga saat ini kita bisa menikmati tiket pesawat dengan harga yang terjangkau.

Jika memang harus diatur, tarif bawah bisa ditetapkan dengan memperhitungkan biaya bahan bakar, asuransi kendaraan dan UMR lokal untuk menghindari predatory pricing serta memberi jaminan pengobatan bila terjadi kecelakaan. Adapun tarif atas tidak perlu diatur, karena sistem dynamic pricing memang melakukan subsidi silang pada tingkat permintaan yang berbeda.

"Operator angkutan online bagaimanapun juga tidak dapat menerapkan tarif terlalu tinggi karena berkompetisi dengan operator angkutan online lainnya serta operator konvensional," katanya.

Selanjutnya, jika tarif sudah diatur maka tidak perlu lagi ada pengaturan kuota jumlah kendaraan. Pengemudi angkutan online tidak akan terus beroperasi bila sudah terlalu banyak armada, sehingga pendapatannya tidak memadai.  

Polemik kedua yang sudah mulai terlihat adalah penolakan para pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi – biasa disebut angkutan online – terhadap beberapa butir pasal yang dirasa berlebihan, termasuk yang mengatur kewajiban penempelan stiker di kaca dan badan kendaraan serta pemberian kode khusus di plat nomor kendaraan.

"Kemenhub harus menyadari bahwa mobil yang digunakan oleh pengemudi angkutan online adalah kebanyakan mobil pribadi. Mobil itu mereka pakai juga untuk kebutuhan sehari-hari atau personal mereka. Sehingga, jika ada aturan yang mengganggu estetika mobil itu dan kodifikasi khusus pelat nomor, wajar muncul banyak penolakan," ujar Bhima.

Namun di luar itu, Bhima menyebut INDEF mengapresiasi Kemenhub dalam upayanya meningkatkan keamanan dan keselamatan penumpang angkutan online, terutama dengan menambahkan pasal mengenai kewajiban asuransi. Sudah seharusnya operator angkutan online atau perusahaan aplikasi yang menaunginya wajib menyediakan asuransi agar penumpang dan pengemudi merasa terlindungi saat menggunakan jasa mereka.

Layanan Uber.

Nyerah karena COVID-19, Aplikasi Transportasi Online Pilih PHK Massal

Aplikasi transportasi online itu PHK 3.700 karyawan.

img_title
VIVA.co.id
7 Mei 2020