Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Penegakan Hukum Mundur
- REUTERS/Beawiharta
VIVA – Salah satu Nawacita Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yakni memprioritaskan masalah reformasi sistem dan penegakan hukum. Tapi berdasar pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW), selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK ini, justru berjalan sebaliknya.
Peneliti ICW, Lalola Easter menjelaskan, Nawacita Jokowi-JK, di mana upaya pemberantasan korupsi dan penguatan KPK jadi salah satu isu prioritas di bagian keempat dengan tema menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
"Sayangnya, program prioritas pada butir keempat Nawacita itu semakin tak relevan di tahun ketiga kepemimpinan Jokowi-JK," kata Lalola saat jumpa pers di kantornya, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Jumat, 20 Oktober 2017.
Menurut Lalola, ada beberapa catatan kelam yang justru ditorehkan rezim pemerintahan Jokowi-JK, yang nyaris membuat KPK lumpuh dalam beberapa kesempatan. "Salah satunya adalah peristiwa Cicak vs Buaya Jilid III yang terjadi pada 2015," ujarnya.
Â
Ia juga membandingkan kinerja aparat penegak hukum selain KPK, di bidang korupsi yang belum optimal dibanding jumlah kasus ditangani.
"Padahal urusan itu, ada sekitar 1.055 lembaga penegak hukum yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia khusus untuk menangani tindak pindana korupsi, mulai dari tingkat Polres, Polda, Bareskrim, Kejari, Kejati dan Jampidsus," ujarnya.
Lalola menambahkan, sebagai cermin pemerintahan Jokowi-JK di bidang penegakan hukum, kinerja Jaksa Agung, M Prasetyo jauh dari memuaskan. Sejak awal, pengangkatannya bahkan sudah menuai kontroversi.
Ia menyebutkan, Prasetyo adalah mantan anggota Partai Nasdem yang dalam posisi sebagai penegak hukum menimbulkan potensi konflik kepentingan, karena dirinya harus mengambil keputusan yang imparsial dalam penegakan hukum.
Kekecewaan publik terhadap penunjukan Prasetyo juga dibuktikan dari kinerja yang tak baik pada pemberantasan korupsi selama tiga tahun ini.
"Bahkan, sejak kepemimpinan HM Prasetyo, setidaknya lima orang jaksa yang ditangkap KPK dan 2 orang jaksa terjerat Tim Saber Pungli. Hal ini menunjukkan sedikit banyak masalah leadership pada institusi Kejaksaan yang semestinya mampu mendorong perbaikan di internalnya," terang Lalola.
Selain itu, kata Lalola, Jaksa Agung juga terkesan tidak mendukung pembersihan di tubuh organisasnya. Hal itu dapat publik lihat dari pernyataannya yang defensif dan menyerang manakala ada oknum jaksa yang terciduk KPK.
"Seperti menyatakan bahwa KPK melakukan 'OTT Receh' terhadap Parlin Purba, serta menyatakan bahwa OTT KPK justru mengundang kegaduhan ketika KPK melakukan OTT terhadap Kajari Pamekasan, Rudi Indra Prasetya," kata Lalola.
Dalam kesempatan sama, Lalola juga menyoroti masalah lambannya penanganan penyerangan Novel Baswedan. Pada tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, menurut Lalola, banyak upaya pelemahan terhadap KPK dalam berbagai bentuk, baik secara institusi, maupun personal terus saja terjadi. Salah satunya adalah penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
"Enam bulan pasca-penyerangan atau tepatnya 11 April 2017 lalu, Kepolisian RI belum juga berhasil mengungkap pelaku penyerangan, apalagi aktor intelektualnya," terang Lalola.
Meski Polri telah menyebarkan sketsa wajah orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan, tapi praktis tak ada perkembangan berarti. Oleh Karena itu, kata Lalola, maka tidak aneh jika publik mempertanyakan kinerja Polri.
"Di saat sama, Presiden Jokowi juga tidak memperlihatkan dukungan yang berarti, misal soal dorongan publik untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang tak juga diindahkan," ujarnya.
Marak Korupsi Kepala Daerah
Tak hanya itu, sambung Lalola, kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, belakangan ini juga tidak pro pemberantasan korupsi. Banyak paket kebijakan yang dikeluarkan justru hanya melindungi penyelenggara negara yang koruptif.
Pada awal September 2015 misalnya, pemerintah melalui Sekretariat Kabinet mengeluarkan Surat Edaran kepada Kepala-kepala Daerah yang dikenal dengan nama SE Anti Kriminalisasi Kebijakan.
Lalola melihat, SE Anti Kriminalisasi ini muncul sebagai respon dari tidak terserapnya anggaran sebesar kurang lebih Rp273 triliun oleh daerah. Rendahnya serapan ini disebabkan para Kepala Daerah dan Pengambil Kebijakan yang khawatir akan dijerat dengan tindak pidana korupsi jika memaksimalisasi penyerapan anggaran daerah.
Kekhawatiran ini, terang Lalola, diperkuat dengan jumlah kepala daerah yang sudah dijerat KPK dan diduga terlibat dalam perkara korupsi di masa pemerintahan Jokowi, yaitu sekitar 33 orang.
"Namun begitu, argumentasi pemerintah mengeluarkan Surat Edaran ini perlu dikritisi, karena penyebab banyak perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah bukan lantaran keinginan mereka memaksimalisasi penyerapan anggaran. Umumnya korupsi kepala daerah disebabkan oleh dampak tingginya biaya pemenangan pilkada dan biaya merawat atau mempertahankan jabatan, besarnya peluang atau kesempatan kepala daerah lakukan korupsi, atau niat korup kepala daerah sedari awal, yaitu berkuasa bukan untuk memajukan daerah tetapi untuk menguasai resources daerah," paparnya.
Lebih lanjut lagi, sebagai salah satu tindaklanjut dari SE Anti Kriminalisasi Kebijakan, 8 Januari 2016, Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Inpres ini bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan serangkaian proyek strategis nasional yang sudah dimaktubkan dalam Perpres No 3/2016 juncto Perpres No 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelakasanaan Proyek Strategis Nasional.
Kedua peraturan ini diklaim bertujuan untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada para Kepala Daerah untuk mengambil diskresi terkait dengan rencana-rencana pembangunan proyek strategis dan rencana investasi di daerahnya masing-masing.
"Sayangnya, kebijakan-kebijakan ini rentan jadi justifikasi penyalahgunaan wewenang lantaran memberi impunitas bagi para pengambil kebijakan, dan bahkan mengaburkan peran aparat penegak hukum karena diberikan tugas tambahan sebagai pengawasan pembangunan proyek infrastruktur," kata Lalola.
Dalam hal pemberantasan mafia peradilan, lanjut Lalola, Kabinet Kerja, jelas masih memiliki pekerjaan rumah yang berat. Utamanya jika melihat beberapa jaksa dan anggota Polri yang diciduk baik oleh KPK, maupun oleh Tim Saber Pungli.
"Hal ini diperparah juga dengan masih minimnya upaya bersih-bersih internal lembaga baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kepolisian Republik Indonesia," kata Lalola.
Selain soal upaya penegakan hukum, penguatan upaya pemberantasan tindak pidana perbankan dan pencucian uang juga masih belum didukung dengan produk legislasi yang mumpuni.
"Permasalahan ini harusnya dapat ditanggulangi dengan mempercepat pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal yang belum juga terwujud sejak 2015, padahal RUU ini sudah diusulkan oleh Pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Lima Tahunan di DPR," kata Lalola.