Densus Antikorupsi, dari Ditolak Kapolri sampai Mendadak Ada
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Gagasan pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi 'ala' polisi semakin mengkristal. Uang senilai Rp975 miliar bahkan telah dihitung-hitung untuk 'memberi makan' lembaga ini di pembentukan awalnya pada tahun 2018.
Menurut polisi, salah satu alasan paling kuat untuk pembentukan Densus Antikorupsi adalah membengkaknya penanganan korupsi yang selama ini menjadi tanggung jawab Direktorat Tindak pidana korupsi Polri.
Konon, klaim polisi, ada 1.000 kasus korupsi yang harus ditangani lembaga khusus korupsi di bawah Kepolisian tersebut. Atas itu, gagasan pembentukan Densus Antikorupsi menjadi relevan dan mendesak.
"Dengan densus nanti mungkin (penanganan korupsi) lebih masif lagi. Bekerja sama dengan KPK, mana yang tidak ditangani KPK, kami tangani," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Kamis, 20 Juli 2017.
Ditolak Kapolri
FOTO: Kapolri Jenderal Sutarman
Empat tahun silam, tepatnya setelah Jenderal Sutarman didapuk menjadi Kapolri. Ide pembentukan Densus Antikorupsi dimunculkan oleh jenderal pengganti Timur Pradopo ini.
Ide ini dilontarkannya di hadapan Komisi III DPR saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Kapolri.
Kata Sutarman saat itu, Densus antikorupsi yang konon hendak dinamai sebagai Densus 86 menyerupai Densus 88 Antiteror, adalah sebagai lembaga 'penciduk' mereka yang terlibat kasus korupsi. "Kalau Polri kuat, KPK bisa fokus di pencegahan," kata Sutarman.
Karena itu Sutarman berkeyakinan, apa yang hendak digagasnya itu bukan sebagai bentuk pengkerdilan KPK. Sebab lembaga ini adalah sinergisitas bersama.
"Tidak mungkin satu lembaga bisa menyelesaikan persoalan baik itu terkait narkotika, terorisme, maupun pemberantasan tindak pidana korupsi tanpa sinergi," kata Sutarman.
FOTO: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Polri
Namun demikian, belakangan ide itu ditarik Sutarman sendiri. Tak lama setalah resmi menjabat Kapolri, gagasan Densus Antikorupsi itu 'dicabutnya'.
Dalam pernyataannya kepada media yang hanya berjarak sebulan dari 'sesumbarnya' untuk membentuk Densus Antikorupsi, Sutarman seperti berbalik arah.
Pria yang pernah menjadi ajudan Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini seperti 'melunak', ia pun membatalkan idenya membentuk Densus Antikorupsi. "Lembaga yang sudah ada itu, kita tingkatkan kemampuan personelnya, kemampuan alat teknologinya dan kemampuan anggarannya," kata Sutarman, Selasa, 11 November 2013.
Ketika itu, Sutarman menyebutkan bahwa polisi telah memiliki anggaran senilai Rp208 juta untuk penanganan kasus korupsi. "Anggaran yang digunakan itu harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan yang dikeluarkan. Sisanya digunakan menyidik lagi untuk meningkatkan target," kata Sutarman.
Apa yang dilontarkan Sutarman pun sejalan dengan DPR saat itu. Dalam pernyataannya, Wakil Ketua DPR saat itu, Priyo Budi Santoso bahkan menyebut bahwa kasus korupsi cukuplah ditangani oleh KPK.
Sehingga Polri cukup memfokuskan diri pada kasus terorisme dan narkoba. "KPK sudah cukup melakukan itu (pemberantasan korupsi) dengan segala prestasinya," katanya.
Solusi atau Masalah
FOTO: Aksi publik mendukung pemberantasan korupsi oleh KPK
Seiring waktu, gagasan Densus Antikorupsi ini pun tenggelam. Namun kemudian mendadak 'hidup' lagi di tahun 2017.
Jenderal Tito Karnavian yang menjadi penerus Kapolri setelah Badrodin Haiti dan Sutarman, secara mengejutkan 'melahirkan' ide Densus Antikorupsi kembali.
Apalagi, Tito sendiri dalam uji kepatutan dan kelayakannya sebagai calon Kapolri pada Mei 2016, tak pernah menyinggung sedikit pun soal idenya mengenai korupsi.
Jika pun ada, satu-satunya gagasan Tito ke DPR soal korupsi adalah dengan membentuk tim internal antikorupsi dengan mengoptimalkan pembentukan zona integritas, sistem pelaporan harta kekayaan anggota Polri ke pengawas internal Polri. "(Lalu) Menghilangkan pungutan liar, pemerasan, dan makelar kasus dalam proses penyidikan," kata Tito dalam presentasinya ke DPR.
Namun apa hendak dikata, setahun usai itu Polri 'tiba-tiba' menelurkan ulang ide Densus Antikorupsi. Pagu anggaran yang sudah dikantongi Polri untuk 2018 sebesar Rp77,75 triliun kini hendak ditambah lagi senilai Rp35,64 triliun.
Lewat tambahan pagu itulah, Densus Antikorupsi ala Polri akan dibiayai. "Kita berharap di TA 2018 Densus Tipikor ini sudah bisa berjalan dan membantu kerja-kerja agenda pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, Selasa, 19 September 2017.
FOTO: Uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada Mei 2016
Dengan 'duit' itu, maka Densus Antikorupsi akan disediakan gedung baru, perekrutan personel, dan lain sebagainya.
Sejauh ini, KPK sepertinya bergeming dengan ide Densus Antikorupsi ala Polri itu. Lembaga antirasuah ini mengisyaratkan dukungannya agar lembaga baru ini bisa berjalan.
Salah satu alasannya yakni, dengan adanya densus baru ini maka kasus recehan bisa menjadi 'santapan' Polri lewat tim barunya.
"Selama ini KPK menghadapi kasus di atas Rp1 miliar. Terus yang di bawah Rp1 miliar seperti apa? Siapa yang menangani? Bagaimana orang yang (korupsi) Rp50-100 ribu? KPK kan gak bisa ambil yang segitu," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
FOTO: Aksi demo masyarakat soal kasus korupsi e-KTP
Apa pun itu, korupsi memang masalah luar biasa di Indonesia. Fakta bahwa Indonesia duduk di urutan 90 dari 176 negara untuk kasus indeks persepsi korupsi menjadi catatan penting.
"Yang dibutuhkan adalah upaya serius pemerintah untuk menangani masalah korupsi di akarnya. Pemerintah perlu melakukan reformasi fundamental," ujar peneliti Transparansi International Finn Heinrich beberapa waktu lalu.
Ya, semakin banyak lembaga antikorupsi memang baik. Namun ini soal efektif. Melimpahnya lembaga antikorupsi bisa jadi menyedot anggaran negara, namun belum bisa menjadi jaminan korupsi menurun. Selama mentalitas korupsi masih mendarahdaging di tubuh penegak hukum. (mus)