Hukuman Mati di Indonesia Masih Banyak Kejanggalan
- VIVA.co.id/Syaefullah
VIVA.co.id – Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia memaparkan, dalam proses eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para terpidana mati masih banyak mengalami kejanggalan.
Misalnya, dalam proses penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian, beberapa terpidana dipaksa suruh mengakui perbuatannya.
"Fakta kejanggalan hukuman mati, khususnya untuk gelombang satu misalnya, diketahui bahwa mereka mengalami penyiksaan terus," kata Putri di kantornya, Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Selasa 10 Oktober 2017.
Kemudian, kata Putri, kejanggalan dalam proses eksekusi mati gelombang dua terjadi terhadap terpidana mati warga negara Brasil, Rodrigo Gularte. Berdasarkan surat dari dokter kejiwaan di Cilacap, saat itu menyatakan bahwa yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan. "Tetapi, Kejaksaan saat itu tetap mengeksekusi Rodrigo," ujarnya.
Kejanggalan lain, dalam kasus terpidana asal Australia, Andrew Chan, hakimnya meminta uang kepada yang bersangkutan. "Tetapi, karena mereka tidak memberikan uang tersebut, akhirnya dia kemudian divonis hukuman mati dan eksekusi mati," tegas Putri.
Lalu, Putri juga menyampaikan, kejanggalan dalam proses eksekusi gelombang tiga terkait dalam tata cara pelaksana eksekusi mati. Kemudian, soal masalah terpidana mati yang masih mengajukan peninjauan kembali dan terpidana mati yang masih mengajukan grasi.
"Kita tahu misalnya Freddy Budiman, saat itu tengah mengajukan grasi. Dalam Undang-undang Grasi disebutkan bahwa pengaju grasi tidak boleh dieksekusi sampai ada kekuatan hukum yang tetap terhadap yang bersangkutan," ujarnya.