Polri Akui Impor Senjata, tapi Bukan Antitank
- VIVA.co.id/Syaefullah
VIVA.co.id – Kepolisian Republik Indonesia mengakui telah melakukan impor senjata. Senjata api itu sebanyak 280 pucuk jenis Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40 x 46 milimeter dan saat ini masih tertahan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Namun, Polri menegaskan, senjata itu bukanlah senjata serang.
Komandan Korps Brigade Mobile (Brimob) Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Murad Ismail menyampaikan, senjata api yang akan digunakan oleh satuannya itu sekadar senjata pengendali massa dalam kejadian huru hara atau unjuk rasa. Bukan senjata pembunuh seperti yang santer dikhawatirkan sebagian pihak.
"Perlu saya tekankan bahwa senjata ini sebenarnya bukan untuk membunuh, tetapi untuk memberi efek kejut," ujar Murad dalam konferensi pers di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu, 30 September 2017.
Murad mencontohkan, penggunaan senjata serupa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Amunisi ditembakkan dengan sudut kemiringan senjata sekitar 45 derajat dan mengarah ke atas. Hal itu akan membuat peluru terlempar ke jarak sekitar 85 meter di depannya.
"Ini ada banyak jenis pelurunya. Ada peluru karet, peluru hampa, ada peluru gas air mata, ada peluru asap, ada peluru juga yang tidak menimbulkan ledakan, tetapi kabut," ujar Murad.
Murad menegaskan bahwa senjata sama sekali tidak berbahaya, juga tidak antitank, seperti kekhawatiran yang muncul akibat pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu. Menurut Murad, pengadaan senjata jenis ini adalah hal yang lazim serta sudah pernah dilakukan juga pada 2015 dan 2016.
"Nanti akan dicek oleh Bais (Badan Intelijen Strategis TNI) terkait kesesuaiannya dengan manifes. Setelah itu, baru akan ada rekomendasi senjatanya bisa dikeluarkan," ujar Murad.