KPK: Permohonan Praperadilan Setya Novanto Salah Sasaran
- ANTARA/Hafidz Mubarak A
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai salah satu pokok permohonan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto terkait keabsahan pengangkatan penyidik KPK salah sasaran. KPK selaku pihak termohon, menilai soal permohonan terkait keabsahan penyidik KPK seharusnya diajukan melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi mengatakan, bahwa didalam permohonan praperadilan hanya berwenang mengadili terkait aspek formil atau prosedur dalam suatu penanganan perkara. Sesuai dengan pasal 1 angka 10 KUHAP dan 77 KUHAP, praperadilan berwenang memeriksa dan memutus tentang aspek sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Ruang lingkup kewenangan praperadilan telah diperluas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang pada pokoknya kewenangan praperadilan mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
"Berdasarkan lingkup kewenangan lembaga praperadilan yang sudah secara limitatif diatur, maka dalil-dalil pemohon bukan merupakan lingkup pemeriksaan lembaga praperadilan. Karena sah tidaknya pengangkatan penyelidik dan penyidik termohon (KPK) bukan merupakan obyek maupun kewenangan hakim praperadilan. Tetapi merupakan obyek atau kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)," kata Setiyadi di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Jumat 22 September 2017.
Menurut Setiadi, KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen memiliki kewenangan dalam mengangkat penyidik KPK. Hal ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yakni Undang-undang KPK.
Setiadi mengatakan, keputusan pimpinan KPK nomor: KEP-572/01-54/10/2012 tanggal 1 Oktober 2012, pengangkatan penyidik telah sesuai aturan dan memenuhi unsur sesuai peraturan dan sesuai dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Kalaupun keputusan itu dipermasalahkan, kata Setiadi, maka permasalahan atau pengujian atas keabsahan keputusan itu merupakan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi ruang lingkup dari kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Atas hal itu, termohon berpendapat bahwa hakim praperadilan tidak berwenang mengadili perkara aquo.
"Oleh karena itu permohonan (Setnov) sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," ujarnya.