Ormas Sayap PDIP: Hargai Film G30S/PKI
- VIVA.co.id / Anwar Sadat
VIVA.co.id – Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia PDI Perjuangan Mahmuddin Muslim menilai, pemutaran film G30S/PKI sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Karena film apapun boleh saja ditonton di Indonesia selama film tersebut dinyatakan lolos oleh Badan Sensor Film Nasional.
"Demikian pula, film G30S/PKI karya Alm. Arifin C. Noer pun telah dinyatakan lolos sebagai film yang boleh ditonton sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Apapun isi cerita film tersebut, maka hargai saja itu sebagai sebuah karya sineas yang perlu diapresiasi," kata Mahmuddin, dalam keterangannya, Kamis, 21 September 2017.
Namun, dia menyayangkan isu pemutaran film ini kemudian digunakan oleh sebagian kelompok dan politisi untuk memaksakan kebenaran isi film tersebut sebagai sebuah kebenaran sejarah. Menurutnya, film G30S/PKI tersebut seharusnya diputar dan ditonton saja, tetapi tidak boleh memaksa orang lain untuk turut menontonnya. "Apalagi memaksakan kebenaran versi film tersebut kepada orang lain," ujarnya menambahkan.
Mahmuddin menuturkan, peristiwa tahun 65 tersebut tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari perjalanan bangsa. Sebagai bagian dari sejarah negeri ini, maka terbuka ruang untuk berbagai tafsir terhadap peristiwa tersebut. "Penulisan ulang sejarah, tentu tidak akan lepas dari subjektifitas penulisnya," ujarnya.
Jika ada yang tidak setuju atau merasa penulisannya kurang lengkap, maka dia menyarankan sebaiknya pihak-pihak tersebut juga menulis sejarah tersebut menurut versi mereka dan tentu saja tidak bisa lepas dari subjektifitas penulisnya. Sehingga perdebatan tentang peristiwa G30S/PKI menjadi perdebatan yang bermartabat dan akademis.
"Bukan dijadikan ajang untuk menyudutkan lawan-lawan politik apalagi menuduh atau memberikan stigma komunisme pada kelompok tertentu tanpa landasan data yang valid," katanya.
Mahmudin melihat, perdebatan yang terjadi terlalu menguras energi, simpang siur, cenderung saling serang, hoaks dan merasa paling benar. Bahkan memunculkan tindakan2 anarkis dan persekusi. "Cara-cara ini membuat situasi, seolah-olah para pihak yang berdebat seolah-olah kembali hidup di tahun 65. Bahkan isu-isu komunisme saya lihat sudah dijadikan oleh lawan politik pemerintah untuk menyerang pemerintahan Jokowi dan partai pendukungnya," tuturnya.
Dia menambahkan, cara-cara seperti itu tentu saja tidak sehat untuk konsolidasi demokrasi Indonesia. Padahal, mestinya semua tindakan politik yang dilakukan dalam demokrasi mempunyai tanggung jawab kepada publik sebagai bentuk pendidikan politik dan civic education.
"Sebagai bangsa yang beradab, dialektika diskursus peristiwa G30S/PKI harusnya melangkah maju sebagai bahan koreksi terhadap kehidupan kebangsaan kita dan tentu saja semakin memperkokoh ideologi Pancasila." (mus)