Mengapa Kita Harus Khawatir dari Kasus Dandhy Dwilaksono
- VIVA.co.id/indonesiabiru.com
VIVA.co.id – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono menilai, kasus dugaan pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh organisasi sayap partai PDI Perjuangan, Repdem kepada aktivis media sosial Dandhy Dwi Laksono adalah salah satu bentuk ancaman kebebasan berpendapat di era demokrasi saat ini.
"Tampaknya, kita kembali ke zaman itu (orde baru), di mana kebebasan berpendapat itu disikapi dengan represif dan ini adalah kemunduran demokrasi di Indonesia," kata Suwarjono di Kantor AJI Indonesia di Jakarta Pusat, Minggu 17 September 2017.
Ia menambahkan, apa yang ditulis oleh Dandhy Dwi Laksono adalah sebuah opini yang menyuguhkan kebenaran fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Sehingga, ia menilai laporan oleh Repdem Jawa Timur terhadap Dandhy adalah sebuah cara untuk membungkam kreativitas seseorang warga negara Indonesia, ketika mengkritisi kondisi sosial saat ini.
Baca Juga:
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D. Nugroho menyatakan, opini yang dituliskan oleh Dandhy adalah karya ilmiah yang memiliki referensi yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahan datanya.
Ia pun menegaskan, opini yang disampaikan oleh Dandhy bukanlah tulisan yang tidak memiliki dasar ilmiah yang tercatat dalam perjalanan sejarah Indonesia.Â
Dengan demikian ia pun menyesalkan langkah aparat kepolisian yang dengan mudah menerima laporan pelapor dengan dalih melakukan pencemaran nama baik  di media sosial melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Ini yang perlu digarisbawahi, mereka menggunakan pasal karet dalam UU ITE untuk menjerat para aktivis, membungkam pendapat yang sebenarnya adalah fakta sejarah. Ini yang mengancam perkembangan demokrasi kita," ujarnya.
Diketahui sebelumnya, sejumlah aktivis Repdem Jawa Timur awal September lalu telah melaporkan akun Facebook bernama Dandhy Dwi Laksono ke Polda Jatim. Dandhy dilaporkan karena telah menulis sebuah opini yang berjudul "Suu Kyi dan Megawati".
Dalam tulisannya, Dandhy menggambarkan kedua tokoh itu memiliki persamaan, yaitu sama-sama pernah menerima Nobel Perdamaian dari dunia internasional.
Namun, Dandhy menyayangkan Sang Penerima Nobel Perdamaian San Suu Kyi yang saat ini berkuasa di Myanmar harus tertunduk serta berdiam diri melihat kejahatan manusia yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Myanmar.Â
Hal itu menurut Dhandy sama halnya ketika Megawati Soekarnoputri berkuasa. Ketika Megawati berkuasa, sebagai salah satu tokoh pejuang demokrasi di Indonesia dan penerima Nobel Perdamaian, Megawati telah memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Hal yang sama juga terjadi di Papua, menurut Dandhy ketika Megawati berkuasa, di era itu terjadi juga kasus penangkapan hingga pembunuhan terhadapa sejumlah aktivis Papua Merdeka.
Dengan demikian, Dandhy dalam tulisannya menyatakan San Suu Kyi dan Megawati sama-sama telah abai dalam kejahatan kemanusiaan yang terjadi di negaranya.