Mendagri Minta KPK Gencarkan OTT Kepala Daerah

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Sumber :
  • VIVA.co.id / Eka Permadi

VIVA.co.id – Banyak kepala daerah berurusan dengan penegak hukum akibat praktik korupsi. Dari beberapa bulan terakhir sudah lebih dari lima kepala daerah ditangkap tim KPK. Terbaru adalah Bupati Batu Bara, Sumut, OK Arya Zulkarnain, yang tertangkap tangan KPK pada Rabu kemarin, 13 September 2017.

Kasus suap yang menjerat Bupati Batu Bara OK Arya Zulkarnaen, menambah panjang deretan kepala daerah yang terjerat OTT sepanjang 2017.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo meminta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah yang melakukan tindakan penyelewengan seperti korupsi serta menerima suap.

"Saya kira silakan KPK untuk terus melakukan OTT ya. Karena saya kira, kuncinya (seorang pejabat tidak melakukan penyelewengan), kembali kepada individunya," ujar Tjahjo di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kamis, 14 September 2017.

Tjahjo mengaku sudah berulang kali mengingatkan semua kepala daerah untuk menghindari tindakan-tindakan yang rawan penyelewengan. Menurutnya, setidaknya ada lima area dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang rawan tindakan penyelewengan.

Kelima area itu adalah perencanaan anggaran, pemberian dana hibah atau bansos, penerimaan retribusi pajak, belanja barang dan jasa, serta penentuan pejabat.

Apabila imbauan maupun peringatan sudah disampaikan kepada kepala daerah, namun masih saja melakukan penyelewengan, maka wajar jika ditindak oleh lembaga penegak hukum. "Hal-hal itu harusnya sudah melekat kepada setiap kepala daerah untuk dihindari," ujar Tjahjo.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan, masih banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, salah satunya lantaran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau inspektorat tidak berjalan dengan baik.

Ditangkap KPK, Harta Bupati Nganjuk Capai Rp116 Miliar

"Setelah KPK melakukan kajian. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau lebih dikenal dengan inspektorat hampir dikatakan tidak berjalan sebagaimana mestinya," kata Laode kepada awak media, Kamis, 14 September 2017.

Apalagi, saat ini, keberadaan inspektorat masih berada di bawah kepala daerah. Sehingga, pada prakteknya, kata Laode, mereka harus melaporkan temuan kepada kepala daerah tersebut, sebelum diteruskan ke penegak hukum. Sistem tersebut, menurut Laode sangat keliru, harusnya si pengawas minimal setingkat dengan kepala daerah itu.

Nurdin Abdullah Ditangkap KPK, PDIP Syok Belum Pikirkan Penggantinya

"ASN juga tidak memiliki kapasitas yang cukup, sehingga korupsi di daerah sangat banyak," kata Laode.

Menurut Laode, KPK sejauh ini sudah membantu daerah-daerah agar dapat mencegah praktik korupsi. Hanya saja, harusnya Kemendagri selaku pimpinan pusatnya, memiliki terobosan atau regulasi yang baik, untuk mengatasi masalah ini, sehingga ke depan tidak terulang kembali praktik rasuah di pemerintahan daerah.

Ditangkap KPK, Nurdin Abdullah Punya Harta Rp51,3 Miliar

"Upaya-upaya KPK akan sia-sia tanpa peningkatan moral dan integritas aparat. Itu yang susah karena KPK tak bisa mengawasi orang per orang," ujarnya.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang juga prihatin dengan maraknya kepala daerah terjerat korupsi ini karena kejahatan tersebut selalu dilakukan bersama-sama pihak lain.

Apalagi, yang miris, ada analisa yang menyebut seorang pejabat 'diikat' perjanjian gelap oleh sejumlah oknum sejak awal pencalonan, yang membuat mereka kesulitan keluar dari jeratan transaksional.

"Kalau sudah begitu, mau pengawasan apa saja akan gagal, karena ruang gelap transaksional itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja," ujarnya.

Menurutnya, perbaikan sistem memang sangat penting untuk dilakukan. Namun dalam menjaga sistem tersebut memerlukan sumber daya manusia penegak hukum yang tidak sedikit.

"Kan KPK tidak 24 jam di tengah-tengah mereka. Tetapi bagi KPK, selama ada bukti, kami eksekusi. Pertanyaannya, bagaimana yang kami tak bisa buktikan (saat ini), tetapi bisa terus berlanjut? Itulah, sistem pun tak efektif apabila KPK masih sepotong-sepotong. Untuk cepat berdampak jera, KPK perlu minimal ribuan penyelidik dan penyidik.” (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya