Tak Ada Masjid dan Azan Berkumandang di 'Neraka' Rakhine
- VIVA.co.id/Dhana Kencana
VIVA.co.id – Sepekan lamanya Suriadi berada di jantung kekerasan konflik etnis Rohingya di wilayah Sittwe Rakhine. Selama itu juga ia diperlihatkan kekejian, kesedihan dan ketakutan.
"Pembantaian itu benar-benar terjadi," ujar Suriadi kepada VIVA.co.id, Rabu, 13 September 2017.
Suriadi, relawan dari lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ini baru sepekan lalu tiba di Tanah Air.
Suaranya terlihat tak stabil. Kadang meletup, sesekali merendah. Namun matanya tak bisa menutupi, bahwa pria ini telah menjadi saksi mata langsung apa yang kini memicu kemarahan orang di dunia kepada Myanmar.
Di Rakhine, selain membantu mendistribusikan bantuan, Suriadi bersama rekannya di Sympathy of Solidarity (SOS) Rohingya ACT, menyempatkan diri ke wilayah Sittwe.
Daerah inilah yang menjadi titik paling panas. Pembantaian dan penyerangan militer kepada warga sipil terkonsentrasi di sini. "Di Sittwe lah terjadi strong operation. Di sini orang-orang muslim sangat menderita," ujar Suriadi.
Baca Juga:
- Sepekan di Rakhine, Pembantaian Etnis Rohingya Bukan Hoaks
- Mengapa Isu Rohingya Bisa Picu Terorisme di Indonesia
Strong operation dimaksud Suriadi adalah operasi militer yang diterapkan oleh pemerintah Myanmar. Mereka diberi misi untuk menghabisi kelompok The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Kelompok inilah yang sebelumnya disebu-sebut menyerang sejumlah pos polisi dan menewaskan sejumlah petugas. Namun demikian, kata Suriadi, operasi militer perburuan 'teroris' yang disebut pemerintah, faktanya lebih dari itu.
Pasukan militer yang melesak masuk ke Sittwe, malah membumihanguskan rumah-rumah milik warga sipil. Mereka juga membantai siapa pun yang dianggapnya melawan petugas.
"Ada yang cuma mempertahankan rumahnya lalu dibunuh dan disiksa. Operasi militer ini blunder. Warga sipil yang bertahan apa pantas disebut teroris juga?" kata Suriadi.
Atas itu, Suriadi berani memastikan berdasarkan kesaksian matanya bahwa memang telah terjadi genosida di Rakhine Myanmar.
"Ini genosida. Para tentara membantai, menyiksa, dan menembaki secara membabi buta kepada siapa pun. Jelas ini genosida," ujarnya bergetar.
Tak cuma dibantai tapi didiskriminasi
FOTO: Para pengungsi Rohingya di penampungan sementara mereka di Bangladesh, Sabtu (9/9/2017)
Kesaksian Suriadi yang lain di 'neraka' Sittwe, adalah soal kamp pengungsian. Ia mencatat setidaknya di daerah itu terdapat 12 kamp pengungsi.
Kamp itu didirikan oleh pemerintah setempat dan lembaga internasional. Mereka menampung siapa pun yang mengungsi, dari etnis mana pun dan agama apa pun.
Namun demikian, kamp pengungsian itu terkesan aneh di mata Suriadi. Ia menemukan ada perbedaan mencolok antara kamp yang dihuni oleh etnis muslim Rohingya dan kelompok warga non-muslim.
"Di kamp itu ada pengungsi Budhis Hindu dan muslim Rohingya. Tapi perlakuannya berbeda," ujar Suriadi.
Untuk kamp pengungsi yang diisi oleh umat Buddha yang diperkirakan berjumlah 900 orang dan Hindu sebanyak 500 orang. Seluruhnya terlihat baik.
Para pengungsi juga terlihat santai dan menjalankan aktivitas harian mereka seperti biasa. "Mereka bisa bekerja, berjualan, dan lain-lain. Pengamanan juga tidak ketat," ujar Suriadi.
Karena itu, untuk meninjau kamp pengungsi milik umat Buddha atau Hindu, siapa pun orang bisa dengan mudahnya masuk dan mengamati.
Namun, kondisi berbeda justru dialami oleh para pengungsi dari etnis Rohingya. Kamp ini, bagi Suriadi, terlihat memprihatinkan.
Kesedihan dan kesemrawutan langsung terpancar dari mereka yang mengungsi. Bahkan, untuk para pengunjung yang hendak menjenguk ke kamp pengungsi khusus Rohingya, aksesnya begitu sulit.
"Pengamanannya berlapis-lapis dan sulit. Ada penjagaan ketat. Kita tidak akan bisa masuk leluasa," ujar Suriadi.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi, di kamp pengungsi muslim itu, mereka dilarang untuk membuat rumah ibadah. "Tidak ada masjid dan tidak akan ada suara azan di sini," ujar Suriadi. (ase)