33 Tahun Tragedi Tanjung Priok, Korban Tuntut Keadilan
- VIVA.co.id/ Bimo Aria
VIVA.co.id – Para korban tragedi Tanjung Priok menuntut keadilan dari pemerintah untuk menuntaskan kasus yang terjadi 33 tahun lalu itu. Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Wanma Yetty, di kantor Amnesty Internasional, Menteng Jakarta Pusat, Senin, 11 September 2017.
Meski pada 2014, pemerintah sempat menggelar pengadilan HAM Ad Hoc, hal itu dinilai tidak memuaskan rasa keadilan para korban. Bahkan, menurut Yetty, pengadilan tersebut diduga hanya pengadilan rekayasa yang memuaskan pihak militer pada saat itu.
"Kami tidak punya ruang dan menuntut kebenaran, sampai hari ini, Tri Sutrisno pun tidak tersentuh dan bahkan dilindungi. Sekarang kondisi korban masih menanti pertanggung jawaban negara yaitu dari Jokowi," ujar Yetty.
Yetty menilai, selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sempat berjanji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu, namun seolah tidak berniat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
"33 Tahun bukan waktu yang singkat dan cukup dewasa pada ukuran manusia. Kami menagih janji Jokowi di mana penyelesaian kasus Tanjung Priok mungkin bagi negara sudah selesai tapi bagi korban belum malah membuat sakit hati," kata Yetti.
Yetty berharap, ada keadilan dan pemulihan bagi para korban. Dia meminta, makam para korban juga diberikan perlakuan yang layak oleh negara, dan mengakui sejarah kelam pelanggaran HAM berat pernah terjadi.
"Karena (korban) tahun 84, bukan benda mati, tapi nyawa yang tidak bisa dinilai oleh uang atau apapun, tapi bagi kami Jokowi tidak pernah menyinggung Tanjung Priok, kami mengingatkan pada Jokowi melakukan pemulihan pada korban," kata Yetti.
Seperti diketahui, pada 12 September 1984 terjadi kerusuhan di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kerusuhan itu merupakan puncak dari kejadian-kejadian sebelumnya yang bermula dari pertentangan menjadikan Pancasila sebagai prinsip tunggal semua organisasi, baik politik maupun nonpolitik.
Ketika itu, menurut tentara, massa menolak mengindahkan tembakan peringatan. Sementara kerusuhan terus memburuk hingga pasukan terpaksa melepaskan tembakan. Pemerintah mengklaim 28 orang tewas namun korban menyebut sekitar 700 orang tewas.