Wajah Predator Anak Wajib Diekspos ke Publik
- VIVAnews/Zahrul Darmawan
VIVA.co.id – Data kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia bagaikan fenomena gunung es dan perlu perhatian serius banyak pihak. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sebanyak 900 ribu anak di negeri ini mengalami kasus keji tersebut.
Hal inilah yang kemudian mendorong Kementerian PPPA untuk aktif melakukan sosialisasi perlindungan terhadap anak hingga ke akar rumput, yakni dari tingkat kabupaten/kota hingga dusun, desa RT dan RW.
Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pri Budiarta, mengatakan undang-undang sudah mengamanahkan bahwa anak itu harus dijamin tumbuh berkembang dan terlindungi dari segala kekerasan dan diskriminasi. Amanah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga seluruh komponen masyarakat.
"Karena itulah kita bentuk kelompok-kelompok perlindungan anak yang berbasis pada masyarakat dari mulai RT, RW, dusun hingga dukuh," kata Pri Budiarta saat ditemui di Depok, Jawa Barat, Senin 11 September 2017.
Terkait hal itu pula, Kementerian PPPA mengundang sejumlah perwakilan masyarakat dengan pelatihan teknik perlindungan anak bagi fasilitator PATBM tingkat provinsi kabupaten/kota di Hotel Margo, Depok.
"Kita harus jamin setiap anak itu mempunyai kemampuan atau elastisitas untuk dapat menghindar dari kekerasan. Orangtua harus membangun relasi yang penuh kasih sayang," katanya.
Hal ini, lanjut Pri, dirasa penting mengingat fakta di lapangan kasus kekerasan, seperti kekerasan seksual pada anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan. Menurutnya, prevalensi kekerasan atau kekerasan yang paling ekstrem, misalnya, seksual terhadap anak laki-laki sekitar 8 persen, anak perempuan berkisar 3 persen.
"Kalau secara kuantitatif jumlahnya sekitar 600 ribu sampai 900 ribu anak yang mengalami kekerasan seksual. Ini kekerasan yang tipenya paling esktrem," jelas dia
Angka tersebut merupakan hasil survei Kementerian PPPA pada tahun 2013. Angka ini akan berubah setelah adanya survei tahap ke dua pada tahun 2018 nanti. "Kami lakukan survei setiap lima tahun sekali. Kami ingin melihat seberapa jauh program-program pemerintah bisa mengurangi jumlah tersebut," katanya.
Pelaku Paedofil
Pri menambahkan, Indonesia sudah tiga kali merevisi undang-undang terkait hal tersebut. Yang terakhir adalah Undang-undang nomor 17 tahun 2016 yang memberikan pemberatan hukum pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Adapun hukumannya adalah hukuman mati, seumur hidup, atau kurungan selama 20 tahun dan 10 tahun penjara.
"Bahkan pada kasus yang pelakunya berulang atau memberikan penderitaan dan truma mendalam pada korban, bisa diberikan hukuman tambahan, berupa pengumuman di publik, pemasangan cip dan penyuntikan kebiri," kata Pri.
Bahkan, khusus untuk kasus tersebut pelaku tidak perlu lagi ditutupi wajahnya saat diekspos ke media. "Ketika dirilis tidak perlu lagi ditutup mukanya, karena malah justru undang-undang yang mengatur mereka agar diketahui publik," tegasnya. (ase)