Pengamat: Bangun Karakter Siswa, Guru Juga Harus Berubah
- ANTARA FOTO/Zabur Karuru
VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Salah satu yang diatur dalam Perpres itu adalah durasi dan hari sekolah, setiap sekolah dipersilakan menentukan enam hari atau lima hari dalam sepekan.
Pengamat pendidikan Retno Listyarti menilai secara substansi, Perpres tersebut memang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan anak. Tapi, untuk membangun karakter anak di sekolah, yang menjadi titik penentunya adalah guru dan sekolah.
"Anak-anak mendapatkan satu karakter yang sama di sekolah itu positif. Karena untuk membangun karakter di sekolah itu berarti membangun budaya di sekolah. Jadi harusnya semua berubah," ujarnya saat Diskusi Pendidikan Berkarakter di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis, 7 September 2017.
Menurut Retno, tidak bisa menuntut pendidikan karakter itu dari anak didik saja yang berubah, tetapi orang dewasa di sekitarnya yang harus berubah. Misalnya, guru tenaga kependidikan seperti TU, dan kepala sekolah wajib menjadi contoh. Keteladanan dari guru sekolah menjadi  role model.
"Jadi dari 18 karakter di dalam Perpres, itu tidak mungkin semuanya diterapkan dalam sekolah. Jadi Juknisnya diturunkan segera. Bagaimana sekolah menjelaskan, tidak mungkin memilih 18 karakter itu. Sekolah harus memiliki kesepakatan dan memilih karakter yang mana," tutur mantan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini.
Dia menyontohkan, saat sekolah memilih karakter jujur, berarti praktik kejujuran itu dimulai dari kepala sekolah. Pemimpin sekolah itu harus membangun anggaran sekolah transparan laporan per bulan dan ditampilkan di website, sementara warga sekolah harus berpartisipasi menyusun anggaran. Begitu sistem sekolah sudah transparan, maka OSIS juga harus melakukan hal yang sama.
"Jadi harus dimulai dari pucuk pimpinan yang tinggi. Maka coba satu menerapkan sebuah karakter, tapi konsisten. Inilah yang dimaksud dari karakter sekolah yang tidak bisa didikte, tidak bisa kita meneorikan karakter ini, tapi karakter ini dilakukan sebagai pembiasaan sehari-hari dan akhirnya menjadi budaya," jelasnya.