Ledakan Penduduk Ancam Jakarta
VIVA.co.id – Setiap tahun jumlah penduduk Indonesia bertambah 4,5 juta jiwa, sementara posisi Jakarta sebagai tujuan favorit kaum urban tak tergoyahkan. Maka abaikan saja harapan bahwa Jakarta akan menjadi kota yang manusiawi.
Dampak ledakan penduduk Indonesia dan Jakarta saat ini memang menyeramkan. Perilaku di luar batas makin menjadi-jadi. Banyak orang mudah kehilangan akal sehat sampai tega melakukan kekejaman di luar norma batas. Berbagai pembunuhan keji kini bahkan sudah menjadi berita harian, dan kecil saja.
Dunia bawah tanahpun makin sulit dikendalikan karena persaingan makin ketat untuk memperebutkan sumber nafkah yang legal. Banyak harta dan nyawa telah melayang akibat maraknya kejahatan jalanan dan yang terorganisasi. Suasana menakutkan ini masih juga ditambah dengan kenyataan bahwa Jakarta telah menjadi target utama terorisme internasional.
Sejak tahun 2000, dimana para teroris yang merupakan bagian dari jaringan teroris Islam internasional mulai menggempur Jakarta, 50 orang telah tewas dihantam bom. Pada tahun ini saja terjadi dua serangan bom. Pertama terjadi di ruang bawah tanah gedung bursa efek Jakarta (tanpa korban tewas), dan serangan terhadap sejumlah gereja pada malam Natal yang membunuh tiga orang.
Sejak saat itu, Jakarta hampir setiap tahun dihantam oleh serangan bom. Pada Agustus 2001, sebuah ledakan bom tanpa korban tewas menghantam gedung Atrium pasar Senen, Agustus 2003 bom bunuh diri meledak di hotel JW Marriot dan menewaskan 12 orang, 9 September 2004, bom bunuh diri menghantam kedutaan besar Australia dan menewaskan 11 orang tewas, Juli 2009, dua ledakan bom mengguncang hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, menewaskan 9 orang, Januari 2016, bom diledakan di Menara Cakrawala, dan sebuah pos polisi di depannya, yang menewaskan 7 orang, dan 25 Mei 2017, bom bunuh diri menghajar Terminal Kampung Melayu, yang menewaskan tiga polisi dan dua pelaku.
Tak cuma itu, para penjahat juga ahli dalam memanfaatkan kawasan padat penduduk untuk melakukan transaksi ilegal, dan menyembunyikan barang-barang hasil kejahatan. Mereka memanfaatkan orang miskin sebagai kaki tangan untuk melaksanakan berbagai pekerjaan seperti mengecoh para penegak hukum.
Tak kalah menegangkan adalah konflik antara penduduk lama versus pendatang baru di Jakarta. Konflik ini dipicu oleh ketidaknyamanan penduduk lama karena para pendatang baru dianggap sebagai ancaman terhadap sumber nafkahnya. Hal ini tentu saja tak lepas dari kenyataan bahwa penduduk Jakarta makin ketakutan kehilangan mata pencarian atau mengalami penurunan penghasilan karena biaya hidup naik terus.
Runyamnya lagi, banyak kaum urban di Jakarta tak mengetahui atau nekat tinggal di atas tanah secara ilegal. Tempat tinggal mereka berdiri di atas tanah negara atau pihak lain. Dengan demikian mereka setiap saat bisa menjadi gelandangan karena rumah mereka dibulldozer.
Suasana menegangkan tersebut tampaknya tak akan mereda selama jumlah penduduk Jakarta terus melesat. Statistik pemerintah Jakarta menunjukkan, jumlah penduduk yang resmi pada tahun ini sudah melewati 10 juta. Pada 2012, jumlah penduduk Jakarta tercatat 9,7 juta jiwa. Tahun lalu sudah naik menjadi 10,3 juta jiwa.
Jumlah ini tampaknya bakal terus melonjak karena harapan masyarakat kepada Jakarta sebagai gerbang menuju kehidupan lebih baik masih tinggi. Meski dalam skala lebih kecil, kenaikan jumlah penduduk yang signifikan juga akan terjadi di kota besar lain seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar. Maklum, kota-kota ini juga memperoleh promosi gratis dari para pembuat film yang mengandalkan kemewahan sebagai sumber keuntungan.
Jakarta adalah kota paling berisiko karena daya tariknya tak kunjung pudar. Persoalan-persoalan yang membebani Jakarta akan makin berat dan rumit, sampai melewati ambang batas kemampuannya untuk berkembang. Bila tak cepat diatasi, ibukota Indonesia ini bisa tumbuh menjadi kota terkejam di Asia bahkan dunia. (webtorial)