Dian Yulia, Wanita Indonesia Pertama Divonis Kasus Teroris

Dian Yulia Novi (kedua dari kiri) dan suaminya Muhammad Nur Solihin (tengah) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Sumber :
  • REUTERS/Agoes Rudianto

VIVA.co.id – Dian Yulia Novi (28), menerima vonis penjara 7,5 tahun dari majelis hakim atas tindakannya merencanakan serangan bom bunuh diri ke istana negara pada Minggu, 11 Desember 2016.

Densus 88: Terduga Teroris Berusia 19 Tahun di Batu Terpapar Propaganda Lewat Medsos

Ini menjadi vonis pertama di Indonesia untuk perempuan yang terlibat tindakan terorisme. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mendesak agar Dian Yulia divonis 10 tahun penjara.

"Dian Yulia alias Ayatul Annnisa, telah didakwa atas permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak  pidana terorisme," tulis laman resmi Pengadilan Negeri Jakarta Timur dikutip, Rabu, 30 Agustus 2017.

Densus 88 Pastikan Aksi Pelajar Mau Bom Bunuh Diri di Malang Tak Terkait Kedatangan Paus Fransiskus

Sosok Dian Yulia, diakui memang fenomenal. Mantan pekerja migran inilah yang ketahuan membawa satu buah bom panci berdaya ledak tinggi untuk menyerang istana negara.

Namun rencana bunuh dirinya ketahuan oleh polisi. Perempuan berdarah Cirebon ini pun akhirnya diciduk bersama suaminya Muhammad Nur Solikhin, lalu ada juga Suyanto alias Abu Iza dan Wawan Prasetyawan alias Abu Umar.

Bahan Peledak Mother of Satan Disita dari Pelajar yang Hendak Lakukan Aksi Bom Bunuh Diri

Baca Juga:

Dian mengakui, apa yang dilakukannya murni sebagai respons atas keinginannya mati dalam Jihad. Ia pun mengklaim tak berafiliasi dengan kelompok teroris mana pun.

"Jihad adalah kewajiban buat semua muslim. Saya tidak bergabung dengan grup apa pun. Cuma melihat saja (jejaring sosial) dan menjadi termotivasi," ujar Dian Yulia dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Ilustrasi polisi olah TKP ledakan bom panci di Bandung, Jawa Barat.

FOTO: Kepolisian melakukan olah TKP di lokasi ledakan bom panci di Bandung beberapa waktu lalu

Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam laporan terbaru mereka yang dirilis 31 Januari 2017, memang mencatat ada pergerakan nyata tentang para perempuan yang ikut berperan dalam kelompok radikal.

Penelitian menunjukkan, keterlibatan itu justru atas dasar inisiatif mereka. Perempuan sepertinya juga ingin berjuang dan mengambil jatah dalam penyebaran teror. "Wanita ingin diakui sebagai pejuang sebagai hak mereka," tulis laporan IPAC.

Keterlibatan para perempuan dalam aksi teror ini mengkhawatirkan. Sebab selain sulit dideteksi, tindakan mereka diyakini bisa memicu motivasi bagi para pelaku teror lainnya.

"Kenekatan pengantin wanita bisa dieksploitasi sedemikian rupa di internal mereka, untuk menyinggung kelaki-lakian mereka agar tidak menjadi wanita berjenggot," ujar pengamat teroris Harist Abu Ulya beberapa waktu lalu. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya