Usut Korupsi Heli AW 101, KPK Cek Fisik ke Lanud Halim
- VIVA.co.id/Widodo S. Jusuf/Pool
VIVA.co.id – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi akan memeriksa secara fisik Helikopter AugustaWestland-101 yang kini disegel di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Pengecekan fisik rencananya akan dilakukan Kamis 24 Agustus 2017.
Pemeriksaan secara fisik ini dilakukan terkait penyidikan kasus korupsi proyek pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017. Dalam kasus ini juga sudah menjerat Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
"Untuk kasus helikopter AW-101, besok direncanakan cek fisik di Halim," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 23 Agustus 2017.
Febri mengatakan, untuk pemeriksaan fisik ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan Puspom TNI yang juga sedang menangani kasus tersebut.
"Kami koordinasi dengan Pom TNI. Jadi selain memeriksa sejumlah pihak yang menjadi kewenangan Pom TNI, kami juga berkoordinasi untuk cek fisik di Halim," kata Febri.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa sejumlah perwira TNI di Mabes TNI, Cilangkap Jakarta Timur.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Irfan diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
Pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.
Irfan selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang ini.
Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak US$39,3 juta atau sekitar Rp514 miliar.
Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp224 miliar.
Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.