Putusan MK Soal Gugatan Setnov Jadi Kemunduran Hukum RI
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA.co.id – Setara Institute mengkritik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh Ketua DPR RI Setya Novanto ketika dirudung skandal kasus dugaan pemufakatan jahat dengan PT Freeport Indonesia.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menyatakan, sejak Agustus 2016 hingga Agustus 2017, pihaknya telah menemukan beberapa catatan terkait dengan putusan uji materi atau judicial review yang memiliki aroma negatif atau tone negatif, yaitu gugatan yang diajukan oleh Setya Novanto.
"Putusan uji materi juga menjadi panggung Setya Novanto. Ada tone negatif, di mana putusan MK menunjukkan kemunduran HAM dan rule of law," kata Ismail Hasani di Jakarta Selatan, Minggu 20 Agustus 2017.
Seperti diketahui, ketika Setya Novanto tengah menjadi sorotan publik terkait kasus hukum akibat lobi-lobi politik dengan PT Freeport Indonesia yang menjual nama Presiden Joko Widodo dengan Komisaris PT Freeport Indonesia Ma'roef Sjamsoedin, Setnov sempat mengajukan dua gugatan uji materi ke MK.
Pertama, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 15 yang mengatur tentang Pemufakatan Jahat.
Menurut Ismail, putusan MK yang mengabulkan gugatan Setnov terkait rekaman atau sadapan tidak dapat dijadikan landasan dalam penyelidikan, pemeriksaan, serta penuntutan merupakan kemunduran dari upaya pemerintah dalam memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.
"Pemohon (Setya Novanto) menganggap penyelidikan dan panggilan terhadapnya yang dilakukan berdasarkan rekaman yang tidak sah (ilegal) telah melanggar prinsip due process of law. Seharusnya menggunakan rekaman yang diambil oleh Ma'roef Sjamsoedin oleh Kejaksaan Agung tidak dapat dibenarkan dan melanggar prinsip hak atas privasi. Dan itu dikabulkan oleh MK," paparnya.
Selain itu, lanjut Ismail, terkait dengan tafsir hukum tentang Pemufakatan Jahat dalam UU Tindak Pidana Korupsi, MK juga mengabulkan permohonan Setya Novanto sesuai dengan uji materi yang diajukannya.
"Bahwa Pemufakatan Jahat dalam UU Tipikor dimaknai oleh MK adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana. Padahal, memperdagangkan pengaruh itu bisa dipidana," kata Ismail.