Istana Kecewa Demo Tolak FDS Jadi 'Bunuh Menteri'
- VIVA/Agus Rahmat
VIVA.co.id – Video pendek terkait aksi penolakan full day school atau pendidikan karakter, menjadi sorotan. Karena aksi yang diikuti anak-anak dan mirip santri, menyuarakan kalimat "bunuh, bunuh menterinya".
Menyikapi itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan sebenarnya Indonesia adalah negara yang sudah mengalami pendewasaan dalam berdemokrasi.
"Kita juga harus memberikan pendidikan kepada anak-anak kita untuk tidak, katakanlah membenci, kemudian melakukan tindakan yang berlebihan, atau apa pun," kata Pramono, di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 15 Agustus 2017.
Dengan situasi saat ini, Pramono yakin pihak yang memanas-manasi anak-anak dengan seruan itu, tidak akan mau bertanggung jawab. Untuk itu, perlu bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki persoalan ini.
"Sekarang ini kan semua orang mengatakan bahwa itu palsu, itu hoax, padahal kenyatannya kan ada. Dengan demikian nanti aparat yang akan menelusuri itu," katanya.
Wacana full day school yang digulirkan pemerintah sejak akhir 2016 mendapat gelombang penolakan dari banyak pihak. Organisasi Nahdlatul Ulama, misalnya, mereka langsung mengecam bahwa konsep ini justru tidak akan membangun karakter anak seperti yang diinginkan negara.
Tentu tak cuma NU saja yang menolak full day school. Sejumlah daerah pun langsung menyerukan penolakan ini dengan beragam cara.
Termasuk dilakukan oleh sejumlah anak-anak yang kini justru menuai protes dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di mana sempat menjadi viral di jejaring sosial, anak-anak berbaju ala santri justru mengucapkan kalimat tak pantas atas penolakan konsep full day school.
"Bunuh, bunuh, bunuh menterinya sekarang juga," teriak anak-anak yang terekam dalam video di jejaring sosial.
Program lima hari sekolah dengan waktu tambahan belajar bagi siswa ini bermula dari Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Dalam konsep ini, masa belajar siswa di sekolah akan menyesuaikan dengan waktu kerja guru PNS yakni selama lima hari dengan jam kerja selama delapan jam kerja.
Namun peraturan itu rencananya akan direvisi dalam bentuk Peraturan Presiden yang dijanjikan akan mengakomodir kekhawatiran banyak pihak tentang hilangnya sekolah madrasah dan pondok pesantren.
Sebab dengan delapan jam sekolah, maka anak-anak tidak akan memiliki kesempatan lagi belajar di madrasah dan lain sebagainya.
Hingga kini, pepres itu masih dalam tahap pembahasan dan pematangan. "Sekarang kami sedang menggodok pedomannya, bersama Kementerian Agama. Juklak (petunjuk pelaksanaan) juga sedang digodok bersama tim sekarang. Nanti kami sinkronkan," kata Muhadjir. (ase)