Petisi 50, Teguran untuk Soeharto yang 'Terlalu' Pancasila
- www.nrc.nl
VIVA.co.id – Tigapuluh tujuh tahun silam, tepatnya pada 13 Mei 1980, sebuah petisi protes dibacakan di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya tak main-main, yakni memprotes sikap Presiden Soeharto yang seolah-olah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila.
Petisi yang diterbitkan oleh kelompok oposisi yang terdiri dari 50 orang dari beragam profesi ini pun bak menampar presiden. Bagaimana tidak, jika pada waktu itu Soeharto beranggapan mengkritiknya adalah sama saja dengan mengkritik ideologi negara, Pancasila.
Maka kelompok inilah yang pertama kali melakukannya. Alhasil, sikap protes yang kemudian dikenal dengan Petisi 50 ini pun menjadi catatan sejarah.
Baca Juga:
- Jokowi Siap Gebuk dan Tendang Ormas Anti-Pancasila
- UKP Pancasila Akan Buat Peringkat Kota Paling Pancasilais
Dalam sejumlah pranala. Petisi 50 memang lahir dari kekhawatiran atas sikap Presiden Soeharto yang terkesan memanfaatkan ideologi Pancasila untuk melakukan apa pun. Mulai dari mengancam musuh politik hingga ke memperkenankan militer untuk melakukan tindakan tidak terhormat.
Konsep itu bahkan selalu diulang Soeharto dalam pidato politiknya, dan terakhir yang membuat gerah adalah ketika Soeharto berpidato di rapat Panglima ABRI dan hari ulang tahun Koppasandha (Kopassus) pada tahun 1980.
"Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila," tulis salah satu dari enam butir sikap dalam petisi 50.
Petisi ini pun mendapat respons dari DPR kala itu. Namun memang sayangnya, kekuatan Soeharto saat itu terlampau besar. Seluruh lini dikuasainya, sehingga Petisi 50 ini pun meredup.
Para kritikus Soeharto pun menuai masalah. Hak perjalanan mereka dicabut, koran tidak diperbolehkan menerbitkan foto mereka dan bahkan yang mengenaskan lagi mereka tidak diperbolehkan memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.
"Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot," seperti dituliskan wikipedia yang mengutip dari Schwartz (1994).
Â