Jusuf Kalla: Bukan Diktator Tapi Tegas
- Foto: VIVA.co.id/Fajar Ginanjar Mukti
VIVA.co.id – Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta publik tidak menafsirkan kebijakan pemerintah dalam penertiban organisasi masyarakat antipancasila sebagai tindakan otoriter.
"Jangan karena pemerintah tegas kemudian disebut diktator," ujar JK di Makassar, Kamis, 10 Agustus 2017. “Bedakan antara ketegasan dan diktator,” ujarnya menegaskan.
JK kemudian membandingkan dengan negara lain seperti Malaysia dan Arab Saudi. Ia menyebutkan di negara itu bahkan jauh lebih tegas untuk menindak berkembangnya paham di luar ideologi mereka.
Sementara di Indonesia, lanjut JK, masih bersifat lebih demokratis yakni tetap memungkinkan untuk menempuh jalur hukum. Hanya saja memang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, mekanisme itu bisa dilakukan setelah dibubarkan.
"Kalau tidak setuju (pembubaran), baru ke pengadilan. Kalau pengadilan mengatakan tidak sah, ya tidak sah, jadi (antara Perppu dan UU) hanya beda sedikit," ujarnya.
Sebelumnya, tudingan ke pemerintah yang dianggap bersikap diktator memang banyak mencuat. Khususnya usai pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan atau mengekang kelompok tertentu.
Salah satunya dalam konteks penerbitan Perppu Ormas yang digunakan untuk dasar membubarkan ormas anti-Pancasila. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akhirnya menjadi ormas pertama yang dibubarkan menggunakan payung hukum tersebut.
Pemerintah juga dituduh otoriter terkait pengesahan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU tersebut, ditetapkan ambang batas pencalonan presiden 20 persen suara kursi di DPR atau 25 persen suara nasional. Sejumlah partai menganggap aturan itu dibuat karena pemerintah ingin calon tunggal di pemilu 2019.
"Pemerintah tegas, organisasi apa saja yang tidak memenuhi ketentuan yang ada. Seperti Pancasila ataupun selalu mengangkat SARA itu undang-undang berhak mengambil tindakan.” (mus)