Siti Kayuh Sepeda ke Semarang demi Tagih Upah Nyonya Meneer
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Siti Musliatun mengayuh sepeda sejauh dua puluh kilometer dari Kabupaten Demak menuju Kota Semarang, Jawa Tengah, saban hari sejak delapan bulan silam. Jarak sejauh itu ia tempuh guna menagih hak pesangon dari perusahaan bekas tempatnya bekerja, PT Nyonya Meneer.
Perempuan berusia 57 tahun itu bekerja di PT Nyonya Meneer sejak 1983. Dia tak lagi menerima upah sejak delapan bulan lalu, dan sejak itu pula ia bertekad menagih tanggung jawab PT Nyonya Meneer sampai haknya dipenuhi.
Seperti biasa, Siti mengayuh sepeda tuanya. Ia tiba di Jalan Raden Patah Kota Semarang pukul delapan pagi. Ia berangkat pukul enam pagi dari rumahnya di Desa Perampelan, Sayung, Kabupaten Demak.
Sampai di pintu gerbang pabrik, tangannya lantas bergegas mengetuk pintu yang terkunci itu. Namun, harapannya selalu hampa. Tak ada seorang pun yang membukakan pintu berkarat itu.
"Ini saya mau tagih lagi pesangon saya yang ditunggak pabrik delapan bulan. Saya tiap hari berangkat dengan sepeda," kata Siti saat ditemui VIVA.co.id pada Senin, 7 Agustus 2017.
Siti mengaku datang pagi-pagi karena sebelumnya telah dijanjikan akan diberikan pesangon oleh seorang mandor pabrik bernama Yuni. Tapi, lagi-lagi, janji itu tak juga terealisasi karena sang mandor tak juga menemuinya.
"Kemarin saya dihubungi sama Mbak Yuni, disuruh kemari. Janjinya mau ngasih bayarannya. Tapi sama seperti kemarin, enggak juga ada kejelasan," ujar perempuan berkerudung cokelat itu.
Siti mengaku bekerja sebagai buruh lepas di pabrik jamu legendaris tertua di Indonesia itu sejak 34 tahun silam. Tugasnya adalah memilah bahan baku obat-obatan jamu menjadi serbuk jamu.
Dari bekerja di bidang pengayakan jamu itu dia mendapatkan upah Rp70 ribu per hari. Sejak awal bekerja, upahnya memang terhitung lancar tiap hari. Namun seiring berjalan, upahnya kerap diutang dan kadang sehari tak diberikan.
"Delapan bulan saya tak diberi upah. Hitung saja, seharusnya tujuh puluh ribu setiap harinya," kata perempuan empat anak itu.
Kondisi yang dialami Siti kian pahit saat dia dipindah kerja dari pabrik di Jalan Kaligawe ke Jalan Raden Patah di tahun 2000-an. Sejak saat itulah pekerjaan produksi jamu semakin menyusut. Sang mandor kadang-kadang memintanya libur karena produksinya yang menyusut.
Puncaknya, sejak ramai demonstrasi karyawan setahun terakhir. Manajemen pabrik rupanya juga menunggak utang terhadap ratusan karyawan lain. Beberapa karyawan juga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kerap berujung unjuk rasa.
Siti pun baru tahu dari pemberitaan bahwa pabrik tempatnya bekerja telah dinyatakan bangkrut. Meski begitu, perempuan yang sejak awal memilih sepeda untuk transportasinya bekerja itu akan tetap menyambangi pabrik agar upahnya diberikan.
"Saya masih yakin kalau hak saya diberikan. Mungkin hari ini tidak ditemui lagi, tapi besok saya akan datang lagi. Kalau enggak begini keluarga saya makan apa," ujarnya sembari menyeka peluh di dahinya.
Di usianya yang menapaki 58 tahun, Siti mengaku kesulitan mencari pekerjaan baru. Satu-satunya harapan hanya bekerja sebagai buruh harian, meski upahnya tidak tentu. Begitu juga suaminya, hanya bekerja serabutan dengan penghasilan yang tak menentu.
"Saya berharap sekali Nyonya Meneer bisa berbaik hati. Saya tidak menuntut lain-lain, cuma upah saya delapan bulan itu saja," katanya.
Sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang beberapa hari terakhir, tak satu pun pihak manajemen pabrik Nyonya Meneer yang dapat dikonfirmasi untuk mengetahui ihwal tunggakan utang terhadap karyawannya itu. Bos Nyonya Meneer, Charles Saerang, saat dikonfirmasi juga enggan berkomentar terkait nasib perusahaannya. Ia hanya membalas singkat saat hendak dikonfirmasi melalui telepon.
"Sorry, I can't talk right now. Call back later," tulis Charles melalui pesan singkat. (mus)