Nasib Buruh Nyonya Meneer yang Pensiun Tanpa Pesangon
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Sorot mata Isubroto tampak berkaca-kaca. Wajah yang mengeriput dengan tangan gemetar memperlihatkan kerisauannya. Lipatan koran dipegangnya dengan erat saat hendak memulai percakapan ihwal nasib masa tuanya yang terlunta-lunta.
Kerisauan Broto terlihat setelah membaca berita tentang pabrik jamu Nyonya Meneer yang pailit. Broto adalah salah satu pegawai pensiunan pabrik jamu paling tua di Indonesia itu.
Rasa gelisah pria 62 tahun itu bukanlah tanpa alasan. Sejak diminta pensiun pada 2016, Broto ternyata belum mendapatkan uang pesangon atas pengabdiannya selama puluhan tahun.
"Baru hari ini saya tahu kalau perusahaan akhirnya tutup. Sekarang hanya bisa pasrah, enggak bisa berbuat apa-apa lagi," kata Broto saat ditemui di rumahnya, Sabtu, 5 Agustus 2017.
Broto mengaku telah 25 tahun bekerja di pabrik jamu asli Semarang itu. Karier Broto dilalui sebagai seorang sopir mobil karyawan sejak 1991. Selama bekerja di pabrik tersebut, Broto terhitung sebagai karyawan yang cukup berprestasi. Tak sekalipun dirinya mendapatkan teguran dari perusahaan.
"Saya diminta pensiun saat sudah dianggap melewati batas usia bekerja. Tapi, sampai saat ini enggak dapat uang pensiunan," ujar dia.
Seharusnya, uang pensiunan yang harus diterimanya sebesar Rp63 juta. Namun, nominal yang menjadi haknya itu hingga kini tak juga dibayarkan pihak perusahaan.
"Ternyata enggak cuma saya saja, banyak sekali teman yang bernasib serupa. Berulang kali ditagih, enggak pernah ngasih. Malah sekarang sudah resmi bangkrut," ujar pria beruban itu.
Selama seperempat abad bekerja, Broto sebenarnya sempat merasakan kejayaan pabrik jamu Nyonya Meneer. Di awal-awal ia bekerja, jumlah pegawainya pun masih relatif banyak.
"Dulu itu sangat banyak karyawannya. Sebulan saya dapat gaji enam puluh ribu pada awal-awal kerja. Kalau nilainya hari ini sudah dua juta lebih," ujarnya.
Tapi, berbeda dengan sekarang. Kesuksesan kerja itu akhirnya berubah drastis di sekitaran tahun 2000-an. Kala itu, bisnis pabrik jamu tersebut mulai goyah dengan tidak stabilnya aktivitas produksi.
Sejak saat itu, Broto mengaku harus melalui berbagai kesulitan keuangan bersama ratusan buruh lainnya saat bekerja di Nyonya Meneer. Pembayaran upah pun kerap terlambat hingga banyak buruh yang tak mendapatkan upah.
"Ya begitulah. Kondisinya selalu naik turun. Dan kawan-kawan saya yang masih kerja banyak yang belum digaji selama setahun terakhir, " ujarnya.
Broto kini hanya bisa pasrah akan nasibnya. Ia harus melewati masa tuanya dengan penuh kegundahan. Selain tidak diberi hak yang layak, nasibnya pun terkatung-katung.
Kesehariannya kini lebih banyak dihabiskan di rumah kecil dan sederhana di Kampung Manis Hardjo Rejomulyo, Kecamatan Semarang Timur. Untuk menyambung hidup, sesekali ia mengisi waktu luangnya dengan menerima orderan sebagai sopir freelance dari tetangganya.
"Ibaratnya jadi sopir lepas. Bayarannya seratus ribu sekali berangkat. Tapi karena usia juga sudah tua, saya lebih banyak di rumah," kata Broto.