Rencana Mogok Pekerja JICT Bakal Ganggu Investasi
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Aksi mogok kerja yang akan dilakukan karyawan Jakarta International Container Terminal (JICT) tanggal 3-10 Agustus 2017 mendatang dirasa akan merugikan para pekerjanya sendiri.
Menurut Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Yukki Nugrahawan Hanafi, mogok kerja karyawan di pelabuhan juga akan menggangu iklim investasi di Indonesia.
Aksi mogok kerja karyawan JICT rencananya akan dilakukan pada 3-10 Agustus 2017. Sebelumnya, aksi serupa juga pernah direncanakan tapi dibatalkan setelah ada kesepakatan antara Direksi dan Serikat Pekerja JICT.
“JICT hanya salah satu pintu gerbang Indonesia, menyikapi (rencana mogok ) itu kami sudah berkoordinasi dengan shipping line untuk memindahkan ke pelabuhan lain,” ujar Yukki.
Bila mogok kerja tetap dilakukan, dipastikan akan ada penumpukan di pelabuhan. Karena itu, guna mengatasi masalah ini, pemindahan bongkar muat akan dialihkan ke pelabuhan lain.
“Memang akan ada penumpukan tetapi tidak masalah karena tidak ada pilihan lain,” katanya.
Aksi mogok karyawan ini, diyakini Yukki, karena adanya surat yang diberikan oleh Serikat Pekerja JICT kepada JICT tentang rencana mogok kerja tanggal 3-10 Agustus 2017. Salah satu faktor penyebab mogok tersebut karena bonus yang diterima karyawan pada tahun 2016 menurun sebesar 42,5 persen dibandingkan bonus pada tahun 2015.
Penurunan tersebut terjadi karena PBT (Profit Before Tax) JICT menurun dari US$66.335.734 pada tahun 2015 menjadi US$44.198.502 pada tahun 2016.
“Mogok memang hak pekerja tetapi sebaiknya pelayanan tetap jalan,” ujarnya.
Lebih lanjut Yukki menyampaikan, apabila pelayanan tetap jalan shippingline dapat tetap masuk dan bongkar muat di JICT. Hal tersebut akan membuat para pelaku industri menjadi lebih tenang dan yakin terhadap kondisi di Indonesia.
Pekerja pelabuhan yang mogok tidak hanya berdampak pada operator semata. Tetapi karena satu pelabuhan berhenti beroperasi sementara maka diperlukan koordinasi dari berbagai shipping line untuk mengalihkan pelayanan selama masa mogok.
Hal tersebut yang berpotensi menimbulkan nuansa ketidakpastian bagi shipping line dan pelaku logistik tidak hanya dari eskportir tetapi juga importir. Ujungnya mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
“Apabila mogok terjadi, sebenarnya JICT dan pekerja sendiri akan mengalami kerugian karena tidak melayani shipping line. Ada beberapa pelabuhan lain yang masih terus beroperasi di Pelabuhan Priok sehingga tetap ada alternatif lain,” katanya.
Lebih lanjut Yukki juga menjelaskan permasalahan yang menjadi penyebab mogok bukanlah permasalahan lama dan sudah dipahami oleh banyak orang. Bahkan menurutnya Menteri Perhubungan, Otoritas Pelabuhan juga sudah memberikan perhatian serius terhadap permasalahan mogok pekerja.
“Sebaiknya permasalahan ini dijauhkan dari kepentingan politik,” katanya. (ase)