Kasus Bullying Anak Meningkat pada 2017
- Pixabay/ wokandapix
VIVA.co.id – Kasus bullying atau perundungan pada anak-anak meningkat dan tidak bisa dibiarkan, karena akan menimbulkan masalah serta meresahkan masyarakat. Bullying menjadi perhatian Kementerian Sosial. Dari data survei, sebanyak 84 persen anak usia 12 tahun hingga 17 tahun pernah menjadi korban bullying.
Dari layanan yang dibuka Kemsos melalui telepon sahabat anak atau (Tespa), sejak Januari hingga 15 Juli, tercatat ada 976 pengaduaan dan 17 adalah kasus bullying.
"Bullying memiliki banyak dampak pada korban. Mulai dari depresi sampai menutup diri. Paling fatal, korban bisa bunuh diri," kata Mensos Khofifah Indar Parawansa di Semarang, Jawa Tengah.
Kasus bullying terjadi melalui berbagai cara. Baik secara kontak fisik maupun melalui media sosial. Karena itu, diperlukan perhatian masyarakat akan bahaya bullying.
Sementara itu, psikolog konseling Muhammad Iqbal menyebut, kasus kekerasan terhadap anak pada 2014 cukup tinggi. Meski pada 2015 dan 2016 jumlahnya menurun, pada 2017 kasus serupa kembali mencuat.
"Data yang kami terima, naik lagi di tahun 2017," ujarnya.
Pria yang juga berprofesi sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana itu menilai, anak kerap jadi korban dari berbagai persoalan yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Untuk itu mereka kerap mencari jati diri tanpa mampu mengontrol emosi dan pola pikir.
"Seperti misal kasus bullying di Thamrin City. Kita tahu kalau mereka sedang mencari jati diri, untuk itu kami mengimbau kepada institusi pendidikan agar juga membantu anak dalam menemukan jati dirinya. Tidak dengan cara menghukum, mengeluarkan anak dari sekolah dan mencabut KJP mereka," ujarnya.
Menurut Iqbal, mengeluarkan murid dari sekolahnya bukanlah sebuah solusi yang baik, karena ini melanggar hak anak untuk mendapat pendidikan layak.
"Lima tahun ini, kami mencoba menghadirkan sekolah ramah anak. Ada 5.000 sekolah yang kami lakukan sosialisasi, terkait kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Regulasi sudah ada dari situ, kami akan menghadirkan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak," katanya.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh negara untuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap anak. Ia menyebut tiga komponen sistem harus saling bersinergi untuk melakukannya.
"Kita, bersama, berupaya untuk menciptakan sinergisitas antara tiga komponen sistem, yaitu negara, anak dan keluarga, termasuk di dalamnya masyarakat," katanya.
Dalam lima tahun terakhir, pihaknya menerima laporan bahwa ada 23.000 kasus kekerasan terhadap anak di 9 raster, tiga di antaranya mencakup kasus utama yang angkanya cukup tinggi.
"Pertama, anak berhadapan dengan hukum. Kedua, kasus soal pengasuhan anak, seperti perebutan hak asuh pasca perceraian. Ketiga, kasus dunia pendidikan, seperti kekerasan antara anak dan anak, atau guru terhadap murid di lingkungan sekolah," katanya.
Karena itu, ia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan terus melakukan pengawasan dan memberikan usulan kebijakan kepada negara, mengenai sistem perlindungan anak yang efektif.
"Usulan kebijakan kami adalah menyamakan roadmap kementerian/lembaga. Ini agar tidak terjadi tumpang tindih terhadap program-program yang pernah dijalankan sebelumnya, sehingga tidak berulang dan tidak memberi dampak apa-apa terhadap sistem perlindungan anak," katanya.
Sementara itu, di lingkup sekolah, selain pembenahan infrastruktur, Iqbal menyarankan agar kualitas SDM para guru ditingkatkan agar luwes dalam mendidik muridnya. Selain itu, orangtua dan guru adalah pihak pertama yang wajib mengawasi penggunaan gadget pada anak, baik itu di lingkungan dia belajar maupun keluarga.
"Anak sering kali mengaplikasi apa yang ia lihat dari gadget, kekuatan gadget ini luar bisa bagi mental mereka. Maka dari itu, orang tua dan guru harus mengawasi dengan saksama. Negara pun tak boleh kalah dengan persoalan-persoalan ini," katanya.
Ia menambahkan, hak dan martabat anak harus tetap dilindungi, seberapa pun besarnya kesalahan yang mereka perbuat. Ketika ada anak di bawah umur yang menjadi korban kejahatan seksual, korban bullying, atau terkena narkoba, negara harus hadir.