Mengapa Banyak yang Cuma Menonton Saat Bullying Terjadi
- Pisabay/ anemone123
VIVA.co.id – Dalam waktu berdekatan dua kasus perundungan atau bullying mencuat ke hadapan publik usai menjadi kabar viral di jejaring sosial.
Yang satu dilakukan oleh pelajar di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Jakarta dan satu lagi dilakukan oleh kalangan mahasiswa di Kampus Gunadarma Depok Jawa Barat.
Praktik bullying ini baru mencekat perhatian publik justru ketika ia beredar di jejaring sosial, ketika sejumlah akun mengunggah ulang video tak pantas tersebut.
Sementara fakta lain justru mengungkap bahwa dalam video yang kini menjadi konsumsi publik itu, ternyata begitu banyak yang menonton.
Di Kampus Gunadarma Depok misalnya, di video itu terlihat jelas sejumlah mahasiswa dan mahasiswi terlihat menonton dan menertawai ketika FH, mahasiswa yang menjadi korban sedang menerima aksi bullying dari rekannya.
Begitu pun dengan pelajar korban bullying, SB, di sebuah pusat perbelanjaan Jakarta. Aksi itu terlihat dilakukan di tengah keramaian dan tidak terlihat satu pun yang mencegah. Semua menonton dan tidak merespons bahwa kejahatan tengah terjadi di hadapan mereka.
"Ini tidak manusiawi, pelaku merasa bangga dan lingkungan tidak ada yang mencegah," ujar aktivis perempuan, Farida dari Yayasan Cinta Sahabat Sosial, Senin, 17 Juli 2017.
Harus bagaimana?
Sejauh ini, teruntuk perkara Kampus Gunadarma, pihak universitas sepertinya merespons cukup baik terkait mereka yang 'menikmati' aksi bullying terjadi terhadap seorang mahasiswa mereka.
"Akan diberikan sanksi untuk yang tidak melerai. Kita akan cari tahu. Dari hasil laporan baru tiga," ujar Wakil Rektor III Universitas Gunadarma, Irwan Bastian.
Sementara untuk kasus yang menimpa pelajar SMP di sebuah pusat perbelanjaan sepertinya tidak akan ada reaksi. Sebabnya, para 'penonton' aksi bullying ini adalah para pengunjung.
Anne Sari Sani, seorang psikolog anak menyebutkan, aksi bullying muncul karena para pelaku bersikap impulsif dan dominan untuk menunjukkan kekuatannya.
Umumnya juga pelaku bullying juga merupakan korban perundungan sebelumnya. Karena itu secara prinsip pelaku dan korban bak mata rantai yang tak terputus.
"Bullying ini bisa menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya. Ciri-cirinya bisa berupa stres, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, hingga kemarahan yang tidak tersalurkan," ujar Anne Sari.
Lalu bagaimana dengan mereka yang cuma menonton dan mendiamkan aksi bullying? Secara prinsip tindakan ini telah menempatkan mereka juga sebagai pelaku bullying tidak langsung.
Dan kondisi ini menggejala hampir di setiap orang. Mayoritas memilih ikut berdiam dan merundung secara tidak langsung ketika melihat aksi olok-olok terjadi di depan mereka.
Menurut Praktisi Hukum Universitas Indonesia Narendra Jatna pernah mengungkap bahwa orang Indonesia memang gemar 'membullying'.
"Kita itu bangsa melankolis. Semakin ditindas, makin senang dan makin simpati," ujar Narendra tahun lalu.
Ini ditunjukkan oleh Narendra dalam kasus aksi bullying di internet. Di mana orang Indonesia lebih cenderung mengejek, menghina dan mengintimidasi yang berbeda dengan mereka ketimbang mengambil tindakan.
"Lihat terus laporkan. Itu jauh lebih efektif ketimbang terperangkap menjadi pelaku bullying juga," ujarnya.