Jimly: Perppu Jadi Jalan Pintas Pemerintah Bubarkan Ormas
- VIVA.co.id/Purna Karyanto
VIVA.co.id – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai organisasi masyarakat (ormas) dipandang sebagai jalan pintas pemerintah menindak ormas yang dinilai anti-Pancasial. Sebab, jika sesuai mekanisme hukum, yakni dengan melewati pengadilan, maka pembubaran ormas akan memakan waktu yang cukup lama.
Demikian menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshaddiqie, soal Perppu Ormas yang ditandatangani Presiden Joko Widodo awal pekan ini. Perppu baru itu langsung mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat.
"Kalau yang ditempuh proses pengadilan dulu, maka niscaya prosesnya panjang, lama dan melelahkan. Kalau lewat pengadilan lama, makanya pakai jalan pintas, bubarin dulu," kata Jimly dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Kamis, 13 Juli 2017.
Namun, bagi dia, seharusnya pemerintah meminjam tangan pengadilan untuk membubarkan sebuah ormas. Sebab dengan menerbitkan Perppu maka pemerintah mengambil tanggung jawab politik.
"Biarlah pemerintah meminjam tangan pengadilan, biar pengadilan yang memutuskan bubar. Misalnya, mulai hari ini organisasi A, B, C bubar. Nanti dibawa ke Pengadilan Tinggi kukuhkan lagi sampai kasasi. Atas dasar keputusan inkrah, barulah pemerintah menerbitkan keputusan, sehingga pemerintah tidak mengambil tanggung jawab politik. Dia hanya mengambil tanggung jawab administrasi,” katanya menjelaskan.
“Kalau sekarang langsung pemerintah berhadapan maka secara politik ini tidak baik untuk politik pemerintah," ucapnya.
Maka itu, pemerintah sekarang menempuh jalur cepat membubarkan ormas dan urusan nantinya akan digugat di pengadilan adalah urusan belakangan.
"Dengan cara dia (pemerintah) bubarin dulu, urusan belakangan itu cepat. Jadi dengan risiko pemerintah langsung berhadapan dengan masyarakat. Itu risikonya nanti kita lihat bagaimana ke depannya," ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi ini pun menilai langkah pemerintah menerbitkan Perppu merupakan langkah yang frontal dan tidak sehat bagi pendidikan penegakan hukum. Sebab, menurutnya, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan cara hukum.
"Karena proses penegakan hukum proses mendidik. Jadi masyarakat kita termasuk ormas islam, HTI, FPI dan lainnya itu juga harus diajak dialog. Saya sarankan, sebab kalau ini terlalu frontal tidak sehat. Sebelum diambil tindakan final sebaiknya ada dialog. Jelaskan dulu perkara, jelaskan apa impilkasi Perppu, apa makna, apa akibatnya dan apa yang mesti dilakukan,” katanya lagi.
Menurutnya, tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum, karena terkadang hukum ia nilai terlalu kaku.
Ia juga menyarankan kepada ormas HTI ataupun nantinya ada ormas lainnya yang dibubarkan bisa melawan keputusan pemerintah melalui mekanisme pengadilan.
"Meski demikian, harus dipahami semua keputusan negara bisa dilawan. Disebut atau tidak disebut bisa dibawa ke PTUN. Itu adalah upaya hukum tapi tidak diselesaikan di jalanan," ucapnya.
Bisa Diuji ke MK
Jimly, yang merupakan mantan anggota dewan kehormatan bidang hukum zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga menilai Perppu ormas bisa diuji di Mahkamah Konsitusi.
"Boleh. Sudah ada prosedurnya. Semula MK berpendapat Perppu itu bukan objek PUU. Karena masih penilaian DPR jadi harus lewat DPR dulu disetujui baru jadi UU. Perppu itu bentuknya PP tapi isinya UU," katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, pengajuan Perppu dibawa ke MK jikalau suatu Perppu begitu disahkan menimbulkan korban. Sebab, menurutnya, jika menunggu sidang DPR maka akan memakan waktu lama.
"Kan jangan menunggu menunggu DPR sidang, menunggu korban banyak baru mau di-review MK. Maka MK tidak boleh membiarkan jatuh korban dulu. Jikalau ini diajukan ke MK, maka MK harus terima menyidangkan sebelum DPR menyidangkan, sebab akan menimbulkan korban," katanya.
Ia pun mencontohkan, misalkan ada suatu Perppu di mana warga negara dibolehkan membunuh orang yang tidak disukai, maka MK harus segera me-review-nya.
"Bisa aja presiden gila dia bikin Perppu gitu. Maka sebelum jatuh korban maka MK boleh menilainya. Jadi saya menilai diajukan dan MK jangan menunda, dinilai saja," ucapnya. (ren)