Yusril Nilai Pembubaran HTI Mirip 'Nasakom Bung Karno'

Yusril Ihza Mahendra dan perwakilan HTI.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA.co.id – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengkritik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan, yang dinilainya represif. Bagi Yusril, ada definisi dari pasal di dalam Perppu tersebut yang tidak sesuai atau cacat hukum.

Kombes Ade Ary Ungkap Peran Pelaku Pembubaran Diskusi Refly Harun Cs yang Baru Ditangkap

Menurut dia, salah satunya adalah terkait dengan penafsiran Pancasila dan ormas yang menentang Pancasila. Terlebih, penafsiran Pancasila itu selalu berbeda-beda setiap zaman dan selalu dimonopoli oleh orang yang berkuasa pada rezimnya sendiri. Dia pun teringat dengan jargon politik “Nasionalisme, Agama, dan Komunisme” alias Nasakom yang pernah didengungkan Presiden Soekarno semasa Demokrasi Terpimpin.

"Pada masa Bung Karno, pernah dikatakan, barang siapa menentang Nasakom itu anti-Pancasila, jadi sekarang tafsirannya bisa lain lagi. Dan kekhawatiran kita adalah pemerintah yang dipimpin Pak Jokowi tafsirkan Pancasila dengan versi mereka," kata Yusril dalam konferensi pers di kantor HTI, Jakarta, Kamis 13 Juli 2017. 

Ditanya Bakal Normalisasi HTI dan FPI Bila Jadi Presiden, Begini Jawaban Anies Baswedan 

Ia menuturkan, penafsiran dalam Perppu tersebut akan disisir satu per satu secara mendalam oleh pihaknya untuk dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terutama tentang tumpang tindih pasal. 

"Siapa pun yang berkuasa dengan rezim yang sekarang ini bisa juga melakukan hal yang sama. Kalau berbeda penafsirannya bisa mereka bubarkan. Pasal-pasal seperti ini yang akan kami sisir satu demi satu, akan kami dalami," kata dia. 

Dewan Pengawas KPK Masih Rahasia

Lebih lanjut, Ia mengatakan, rencana pihaknya untuk melayangkan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi secara mantap dilakukan pada Senin, 17 Juli 2017. Menurut dia, ada beberapa tumpang tindih pasal yang perlu disempurnakan agar tidak melanggar hak berserikat bagi ormas lainnya.

"Jadi misalnya, pengaturan dalam pasal 59 itu berkaitan dengan suku agama, ras dan lain-lain, sebenarnya itu juga diatur dalam pasal 156 dari KUHP, tapi sanksi hukumnya berbeda, Jadi nanti kalau diterapkan mana yang mau dipakai, dan ini tidak menjamin adanya suatu kepastian hukum," tutur dia. 

Lalu yang kedua, lanjut dia, dalam pasal 59 Perppu tersebut ada pelarangan penyebaran paham yang bertentangan dengan pancasila melalui ormas. Namun, Hal itu tumpang tindih terkait dengan sanksinya dengan Pasal 82, apakah hukum tersebut berlaku bagi setiap anggota saja atau pimpinan ormas.

Di pasal 59 kata dia, itu, disebutkan bahwa sanksi pidana bagi pimpinan lembaga tersebut. Sedangkan di pasal 82, sanksi pidana dikenakan untuk orang yang menjadi anggota organisasi itu.

"Bisa dibayangkan, kalau yang punya 1 juta anggota, apakah satu juta orang itu akan dituntut di pengadilan, ini kan menjadi tidak jelas. Jadi, ini membuka peluang penerapan hukum yang semena-mena nantinya. Dan itu menjadi dasar bagi kami melakukan pengujian terhadap Perppu ini," jelas dia. (ren)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya