Misteri Makam Keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono V di Manado
- Agustinus Hari (Manado)
VIVA.co.id – Kesultanan Yogyakarta memiliki peninggalan sejarah dan budaya di Manado, Sulawesi Utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam permaisuri dan putra Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Makam Permaisuri Sri Sultan HB V, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Pangeran Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga, tepat di samping Sekolah Kristen Eben Heazer, yang beralamat di Jalan Diponegoro, Kelurahan Mahakeret Barat Lingkungan V, Kecamatan Wenang, Manado.
Kondisi makam sampai saat ini masih utuh. Saat VIVA.co.id tiba di lokasi pekuburan ada beberapa tangga harus dinaiki kemudian berjalan sekitar 20 meter ke arah kanan. Di situlah letak makam ketiganya berada.
Pada pusara tertulis Kanjeng Ratu Sekar Kedaton wafat pada 19 Mei 1919 tetapi tidak ditulis tahun kelahiran. Begitu pula putranya, Pangeran Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga, yang tercata wafat pada 12 Januari 1901.
Makam tersebut kini menjadi obyek wisata religius dan cagar budaya. Banyak wisatawan yang berkunjung ke makam itu baik wisatawan asing dan domestik.
Komentar warga
Kala ditemui, Ahmad, warga di sekitar makam, mengaku ada beberapa masyarakat yang tinggal tak jauh dari makam mengetahui tentang sejarah tersebut.
"Ada warga bahkan menjadi juru kunci kubur yang tahu persis tentang sejarah makam. Kalau saya tidak tahu," katanya, di Masjid Ahmad Yani, yang tak jauh dari makam, Sabtu 1 Juli 2017.
Namun, ia memastikan jika makam tersebut usianya lebih tua dari Masjid Ahmad Yani. "Kalau masjid (berdiri) sekitar tahun 1960. Makam jauh sebelumnya, sekitar tahun 1900. Masjid ini dulunya milik Kodam, karena diresmikan KSAD Jenderal Ahmad Yani kala itu, yang kemudian namanya diabadikan jadi nama masjid," paparnya.
Sementara itu, Edwin Matheos, mantan Lurah di Kelurahan Mahakeret Barat, membenarkan bahwa makam permaisuri dan pangeran Sri Sultan HB V berada di kawasan tersebut.
"Setiap bulan ada yang membersihkan makam itu. Kami tahu persis karena mereka selalu melapor ke kelurahan," kata Edwin.
Menurutnya, warga yang membersihkan makam sering berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara, yang membawahi makam keluarga Sri Sultan HB V.
"Saat saya jadi lurah, Sri Sultan HB X belum pernah berkunjung ke makam itu. Kalau sebelum saya menjadi lurah, mungkin pernah," papar Edwin.
Dituduh membangkang
Mengutip situs resmi Pemerintah Kota Manado, manadokota.go.id, disebutkan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton merupakan salah satu istri Sri Sultan Hamengkubuwono V yang dituduh membangkang dan merencanakan perlawanan terhadap raja.
Atas tuduhan tersebut, ia dibuang ke Pondol, Manado hingga wafat. Dalam perebutan takhta kerajaan menjadi penyebab sang permaisuri dan putranya terasing di ujung utara Pulau Sulawesi.
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton sedang hamil tua saat Sri Sultan Hamengkubuwono V yang bernama asli Raden Mas Gathot Menol tewas akibat ditikam istri kelimanya Kanjeng Mas Hemawati pada 1855 silam.
Selang 13 hari setelah kematian Sultan, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton melahirkan putra mahkota yang kemudian diberi nama Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga dengan nama kecil Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Lantaran putra mahkota masih sangat kecil, takhta kerajaan diserahkan kepada adik Sultan Hamengkubuwono V yaitu Raden Mas Mustojo dan diberi gelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Hanya 13 tahun memimpin, Sri Sultan Hamengkubuwono VI mangkat, lalu digantikan anaknya Raden Mas Murtejo alias Sultan Ngabehi alias Sultan Sugih sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Pada masa pergantian Sri Sultan Hamengkubuwono VI ke VII inilah terjadi pertikaian keluarga lantaran sebagai pewaris kerajaan. Akibat pertikaian itu, Sri Sultan Hamengkubuwono VII menangkap Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya lalu dibuang ke Manado.
Mereka dituduh membangkang pada raja dan merencanakan melakukan perlawanan. Namun, pembuangan ini tak lepas dari keterlibatan pemerintah kolonial Belanda dalam mengasingkan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton karena sebagai kerabat Pangeran Diponegoro.