Makna Idul Fitri dan Nasionalisme Menurut Quraish Shihab

Quraish Shihab (kanan)
Sumber :
  • Antara/ Basri Marzuki

VIVA.co.id – Prof Dr Quraish Shihab, ulama ahli ilmu tafsir Alquran, menjadi khatib salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Minggu pagi, 25 Juni 2017.

Sosialisasi Majelis Hukama Muslimin dan Bedah Buku Tafsir Bayani: Mengungkap Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur'an

Dalam khotbah di hadapan jemaah salat Id yang diikuti juga Presiden Joko Widodo itu, Quraish memaparkan makna mendalam dan luas tentang Idul Fitri. Dia mengontekstualkan Idul Fitri pada semangat keindonesiaan dan kemanusiaan.

Kata fitri yang diserap dari bahasa Arab, yakni fithri atau fithrah, menurut Quraish, berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir. Fitri bermakna juga naluri. Fitri juga berarti suci, “karena kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa.” Fithrah juga berarti agama karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya.

Banyak Tokoh di Dunia Ingin Belajar Toleransi di Indonesia

Dia mengutip Alquran Surat AsSajadah ayat 7, “Dengan ber-idul fitri, kita harus sadar bahwa asal kejadian kita adalah tanah: Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah.”

Tanah yang menjadi asal manusia, kata Cendekiawan yang juga Direktur Pusat Studi Alquran itu, tak hanya tanah dalam makna harfiah. Naluri mahkluk yang berasal dari tanah bermakna juga bahwa fitrah manusia sesungguhnya adalah mencintai Tanah Air.

Dialog MHM, Quraish Shihab Luruskan Kesalahpahaman dalam Memahami Toleransi

“Karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta Tanah Air, merupakan fithrah, yakni naluri manusia,” katanya.

“Tanah Air adalah Ibu Pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman; cinta Tanah Air adalah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan Tanah Air.”

Orang yang mencintai sesuatu, Quraish berpendapat, akan memeliharanya, menampakkan, dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya, bahkan bersedia berkorban untuknya.

“Tanah Air kita, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai,” ujarnya.

Bentuk Siksa Allah

Sebaliknya, dia memperingatkan, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Alquran mencontohkan kisah masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur; negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi, “tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.”

Allah pun menurunkan azab untuk negeri itu, sebagaimana dikutip Quraish dari Alquran Surat Saba’ ayat 18, “Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan.”

Ayat Alquran itu adalah sunatullah; hukum Allah. Itu adalah hukum kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian hukum-hukum alam.

Quraish mengutip lagi firman Allah: “Sekali-kali engkau—siapapun, kapan dan di mana pun engkau—tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun.” “Itulah,” kata Quraish, “yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian negara di Timur Tengah.” (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya