UU Penyiaran Indonesia Diusulkan Adopsi Model di Australia
- Dokumentasi KPI
VIVA.co.id – Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang sedang digodok DPR, mendapat tanggapan dari berbagai pihak termasuk Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia atau MPPI.
Koordinator MPPI, Sabam Leo Batubara mengusulkan UU Penyiaran di Indonesia mengadopsi model UU Penyiaran punya Australia.
“Kami mengusulkan agar UU Penyiaran Indonesia mengacu UU Penyiaran Australia. DPR lah yang menjadi penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali penyiaran bukan pemerintah bukan pula KPI,” kata Leo di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Rabu, 7 Juni 2017.
Dia mengatakan berdasarkan Pasal 62 UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemerintah menyusun sembilan peraturan pemerintah. Namun berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 lalu menyatakan keikutsertaan KPI dalam menyusun sembilan PP dinilai tidak konstitusional.
Dalam implementasinya, sembilan PP yang diperlukan dalam penyelenggaraan penyiaran dibahas di DPR. Hasilnya menjadi bagian dari UU Penyiaran. DPR memberi kewenangan kepada KPI sebagai lembaga independen yang melaksanakan dan mengawasi pedoman perilaku penyiaran (PPP) dan standar program siaran (SPS).
“Yang berdaulat menyusun P3 SPS bukan KPI, KPI hanya memfasilitasi komunitas penyiaran dalam menyusun P3 SPS sebagai turunan dari UU Penyiaran,” ujarnya.
Dia juga mengusulkan KPI cukup satu di ibu kota dan anggotanya tak lagi dipilih sesuai aneka ragam kepentingan Komisi I DPR. Pemerintah hanya perlu menyusun panitia seleksi yang memiliki rekam jejak profesional, jujur dan memiliki integritas dan kompeten serta independen.
“Pansel tersebut nantinya memilih sembilan calon KPI yang menguasai persoalan penyiaran, dan Presiden mengirim sembilan calon itu ke DPR. DPR tidak lagi berwenang melakukan uji kelayakan dan kepatutan. DPR hanya mengawasi kesembilan calon itu,” tutur Leo.