Kesultanan Banten Riuh Gara-gara Ada Pria Mengaku Sultan

Mendung di atas Masjid Raya Banten, Serang
Sumber :
  • Antara/ Asep Fathulrahman

VIVA.co.id - Keluarga Besar Kesultanan Banten riuh gara-gara muncul seorang pria bernama Bambang Wisanggeni yang mengaku sebagai Sultan ke-18. Gelar sultan itu bahkan disahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama Serang di Banten.

Guru Gembul: Jayabaya Tidak Pernah Menulis Ramalan!

Menurut Tubagus Amri Wardhana, Sekretaris Jenderal Forum Dzuriyat Kesultanan Banten (FDKB), tak masuk akal jika ada orang mengaku sebagai Sultan ke-18. Sementara sultan terakhir Kesultanan Banten yang ialah Sultan Syarif Muhammad ash-Shafiuddin, yang bertakhta sejak 11 Desember 2016.

"Ini adalah pengaburan dan kebohongan sejarah. Bagaimana mungkin Bambang Wisanggeni mengaku sebagai Sultan kedelapan belas. Pengukuhannya dilakukan tidak melalui tradisi atau pakem yang berlaku di Kesultanan Banten," kata Amri saat ditemui di Pengadilan Agama Serang pada Rabu, 7 Juni 2017.

Mengungkap Fakta Sejarah, Guru Gembul Bongkar Mitos Ramalan Jayabaya dan Wajah Asli Sang Raja

Keluarga besar Kenadziran Banten yang tergabung ke dalam FDKB, kata Amri, melayangkan gugatan ke Pengadilan Agama Negeri Serang agar Bambang Wisanggeni segera mencabut gelar sultannya.

"FDKB menggugat Bambang Wisanggeni ke Pengadilan Agama atas putusan PA Serang yang menetapkan bahwa Bambang Wisanggeni memiliki pertalian terkuat dengan Sultan Syaefuddin. Bahwa bukan kewenangan Pengadilan Agama menetapkan Sultan Banten," ujarnya.

Ziarah Ke Sultan Banten, Anies: Jadi Inspirasi dalam Jalankan Amanat

Runtuh

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Banten. Berawal sekira tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat pulau Jawa.

Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, berperan dalam penaklukan itu. Dia kemudian mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 m) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.

Dalam mengamankan jalur pelayarannya, Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan VOC, yang sebelumnya telah memblokade kapal-kapal dagang menuju Banten.

Selama hampir tiga abad Kesultanan Banten bertahan, bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa. Perang saudara dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan serta ketergantungan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.

Kekuatan politik Kesultanan Banten runtuh pada tahun 1813 setelah Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan. Pada masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya