Eks Pimpinan KPK: Predikat WTP Bukan Jaminan Tidak Korupsi
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Haryono Umar, mengaku tidak heran dengan praktik jual beli pemberian opini laporan keuangan pemerintah wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasalnya, ada beberapa kasus di kementerian/lembaga dan daerah yang mendapat predikat WTP, namun justru para pejabatnya terlibat kasus korupsi.
"Kementerian Perhubungan bertahun-tahun WTP, tapi ternyata ada suap. Polisi sampai turun di sana (kasus pungli). Ada beberapa daerah katanya WTP tapi kena OTT. Artinya, opini yang demikian sakral ternyata bisa diperdagangkan," kata Haryono dalam perbincangan di tvOne, Senin, 29 Mei 2017.
"Maka, WTP tidak menjamin tidak korupsi," imbuhnya.
Dalam kasus suap auditor BPK oleh Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, kata Haryono, posisi Irjen harusnya menjadi garda terdepan untuk menindak atau melaporkan praktik-praktik culas di kementeriannya.
"Bukan menutupi. Ini hal buruk dia tutupi, itu bisa kenal loh ada pasalnya di KUHP. Bagaimana dia (Irjen) melakukan pencegahan kalau dia menutup-nutupi," ujar pria yang juga mantan Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini.
Senada, aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, juga menyebut praktik suap menyuap terkait dengan pemberian opini laporan keuangan pemerintah oleh BPK sudah sering terjadi. Beberapa kasus di daerah disebut Emerson menjadi bukti bahwa predikat BPK itu bisa diperjualbelikan.
"Ada 4 kasus paling tidak terbukti di pengadilan. Di Tomohon, Minahasa Sulut, di kasus e-KTP ada salah satu unit di Kemendagri itu auditor dikasih Rp80 juta agar dapat WTP. Di Bekasi (kota) juga ada suap WTP," kata Emerson.
Menurut dia, praktik jual beli opini BPK baik di pemerintah pusat maupun daerah ini sudah menjadi rahasia umum. Dari beberapa kasus yang terjadi, para auditor BPK yang datang ke daerah disambut bak pejabat dan mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah daerah, agar bisa mempengaruhi hasil auditnya.
"Ini (ditangkap) tim yang lagi apes aja. Ada kekhawatiran di daerah itu kalau nggak dapat WTP. WTP itu gengsi, membuat banyak pihak targetnya dapat WTP. Padahal, harusnya (WTP) bukan target tapi sudah kewajiban," tegasnya.
KPK melakukan operasi tangkap tangan di Gedung BPK dan juga Kementerian Desa dan PDTT pada Kamis, 26 Mei 2017. Dalam operasi tersebut, tujuh orang ditangkap. Empat menjadi tersangka, dan tiga dilepas dengan status sebagai saksi.
Empat orang yang jadi tersangka adalah Auditor Utama Keuangan Negara III BPK, Rocmadi Saptogiri, Auditor BPK Ali Sadli, Irjen Kemendes Sugito dan Pejabat Kemendes, Jarot Budi Prabowo. Mereka langsung ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka.