- VIVA.co.id/Gusti Gerdiasnyah
VIVA.co.id – Rumah bercat putih berpadu krem tiga lantai itu berdiri begitu megah. Dengan taman luas lengkap dengan sejumlah bunganya, menampilkan kesan segar menyambut masuk ke dalam rumah ini.
Di beranda depan, terlihat sebuah garasi berukuran besar. Setidaknya enam mobil bisa terparkir di ruang ini. Melihatnya, sangat mudah ditebak rumah itu jelas bukan milik sembarang orang.
Apalagi ketika kita menyusur ke bagian belakang rumah. Sebuah dermaga kecil yang dibangun dari kayu ulin terhubung langsung dengan rumah ini.
Penampakannya pun begitu menggoda, bisa dipastikan jika senja, beranda dermaga mini pasti jadi tempat romantis. Dengan lampu taman apik dan kursi kayu serta pemandangan teluk yang berjejeran Yacht dan jet ski, benar-benar menggiurkan.
Dan yang paling penting, akses dermaga ini bisa terbilang tertutup dari publik. Sebab, seluruhnya tertutup dan terlindungi dengan kanal. Sehingga siapa pun yang melintas masuk ke kawasan teluk ini bisa terlindungi privasinya.
Ya, ini lah kediaman Pony Tjandra. Rumah berlantai pualam dengan desain moderen ini terletak di Blok R Perumahan Pantai Mutiara Pluit Jakarta Utara. Rumah ini hanya terpaut dua blok dengan kediaman mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Konon rumah ini ditaksir seharga lebih dari Rp17 miliar. Sebuah harga yang pantas untuk rumah sekelas ini. Modern, berkelas dan pastinya yang menjadi salah satu perhatian pemburu rumah adalah privasi. Siapa tidak tergiur. (Baca juga: Mencekau Narkoba dari Hutan ke Kota)
Lantas siapakah si Pony Tjandra, sampai ia sanggup merogoh kocek untuk rumah ini? Dia bukan pejabat maupun konglomerat. Namun, sejak 2006, namanya dikenal sebagai “Raja Ekstasi”.
Ia dibekuk atas kepemilikan 57.000 butir ekstasi dan divonis 20 tahun penjara di Lapas Nusakambangan. Namun, jangan kira Pony kesusahan di lapas. Dalam sebuah penggerebekan setelah beberapa tahun, Pony kembali mendapat nama baru, lantaran memiliki lapas bak istana.
Di balik jeruji, pria berkepala plontos ini bisa tetap berbisnis. Terbukti setiap bulan ia bisa mengirimi istrinya uang Rp100 juta untuk biaya dapur. Luar biasa bukan. Bayangkan bagaimana ia di luar penjara, jelas uang dapur itu jauh lebih besar. (Baca juga: Operasi Singkap Transaksi Narkoba)
Namun demikian, kini kehebatan pria yang merupakan bos dari almarhum terpidana mati Freddy Budiman ini menjadi bumerang baginya. Tahun 2014, di luar kasus narkoba yang telah membelitnya, ia terjerat dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Seluruh harta kekayaannya, mulai dari rumah mewah, tanah, mobil dan motor mewah disita negara. Seluruh harta itu dianggap merupakan bentuk Pony mencuci uang bisnis narkobanya.
Bagian dalam rumah mewah milik Pony Tjandra. (VIVA.co.id/Danar Dono)
Pony pun dimiskinkan dan hukuman penjaranya bertambah lagi enam tahun. "Total aset senilai Rp27,28 miliar," kata Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Budi Waseso, Senin, 20 Februari 2107.
Dan yang juga menyakitkan bagi Pony, rumah mewah berdermaga kayu ulin di Teluk Jakarta itu kini justru menjadi markas BNN. Rumah ini menjadi barang rampasan negara.
"Untuk dimanfaatkan bagi mereka (BNN) untuk mendukung tugas-tugas operasional mereka," kata Jaksa Agung M Prasetyo ketika mengumumkan penyerahan aset Pony Tjandra ke BNN, Februari lalu.
Selanjutnya…Gurihnya Uang Haram
Gurihnya Uang Haram
Ada temuan menarik dalam Laporan National Risk Assessment terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Menurut laporan itu, yang dirilis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), di Indonesia terdapat tiga hal yang menjadi prioritas pengawasan atas perkara TPPU, yakni narkotika, korupsi dan perpajakan.
"Narkoba itu di urutan nomor dua TPPU," kata Ketua PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, Jumat 19 Mei 2017.
Dia mengaku, pencucian uang atau money laundering memang menjadi masalah pelik. Ini terjadi tak cuma di Indonesia. Uang-uang kotor hasil narkoba, korupsi, pengelakan pajak dan lain sebagainya begitu sulit dijerat.
Atas itu, mahfum kemudian orang seperti Pony Tjandra tetap bisa menghasilkan uang Rp100 juta sebulan meski terkurung di Lapas Nusakambangan. Lewat kaki bisnis lain yang dibangun dari perdagangan narkoba, Pony akhirnya tetap berjaya dan tak pernah kerepotan memenuhi belanja rumah.
Kepala Badan Narkotika Nasional, Komisaris Jenderal Budi Waseso, pada akhir 2016 lalu bahkan mengungkap ada uang senilai Rp3,6 triliun dari pencucian uang narkoba. Dari jumlah itu, Rp2,7 triliunnya rupanya mengalir di rekening milik Pony.
Ironisnya lagi, uang haram itu dicuci di sebelas negara - mulai dari China, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Inggris, Filipina dan Thailand.
Ya, singkatnya, rumah mewah di Teluk Jakarta itu bisa dipastikan cuma “ujung kuku” dari keuntungan cakar bisnis si Pony Tjandra. Dan, yang lebih menakutkan, bahwa putaran uang triliunan rupiah itu tercatat baru untuk satu jaringan.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso saat memberikan keterangan pers terkait capaian kinerja BNN di Kantor BNN Jakarta. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Sementara di Indonesia, berdasarkan data BNN mencapai 72 jaringan narkoba internasional. "Jadi kalau peredaran uang hasil pencucian uang (narkoba), ya banyak sekali," kata Direktur TPPU BNN Brigjen Pol Rakhmad Sunanto.
Berapa jumlah itu, Rakhmad memang enggan menyebutkannya. Namun ia mengilustrasikan mengenai harga beli sebuah narkoba di Indonesia. Di negara ini narkoba per kilogram dihargai hingga Rp2 miliar.
Sementara sang bandar cukup membelinya seharga Rp100 juta di China atau Rp300 juta jika dibeli dari Malaysia atau Singapura. "(Ditaksir) Kerugian ekonomi (bisnis narkoba) mencapai Rp63 triliun per tahun," katanya.
Selanjutnya…Menghalalkan yang Haram
Menghalalkan yang Haram
Upaya para bandar narkoba menyamarkan keuntungan bisnis narkoba, menurut riset PPATK, memang dijalankan dengan banyak cara. Salah satu yang favorit kerap digunakan adalah importasi fiktif dan invoice palsu. Dengan itu uang haram seolah tersamarkan lewat praktik bisnis.
Selain itu yang juga kerap terjadi adalah dalam bentuk investasi seperti pembelian properti, kendaraan mewah, bisnis seperti diskotek, jual beli mobil, perkebunan, dan lain sebagainya. "(Prinsipnya) Semua kegiatan (keuntungan narkoba) dikemas dengan kegiatan legal. Apa pun mungkin dilakukan," kata Direktur TPPU dari BNN, Brigjen Pol Rakmad Sunanto.
PPATK, dalam sebuah riset mereka, sementara baru merinci sejumlah indikator yang patut dicurigai sebagai bentuk transaksi keuangan mencurigakan dari tindak pidana narkoba.
Menurut Surat Edaran Kepala PPATK Nomor: SE-03/1.02/PPATK/05/15, setidaknya ada sepuluh indikator pencucian uang narkotika, yakni:
1. Transaksi dana masuk didominasi oleh transaksi setor tunai dalam frekuensi tinggi dan total dana yang besar
2. Pengguna jasa sering melakukan transaksi dengan para pihak yang sudah menjadi tersangka/terdakwa/terpidana kasus narkotika
3. Keterangan transaksi memuat kode tertentu
4. Pengguna jasa sering melakukan dengan penyidik narkotika atau pegawai lapas/rutan tanpa underlying transaksi yang jelas
5. Pengguna jasa sering melakukan transaksi dengan pihak yang telah masuk DPO
6. Rekening perorangan menerima dana masuk dari ribuan pengirim yang berbeda-beda
7. Transaksi tarik tunai dengan frekuensi tinggi di wilayah lintas batas negara yang rawan peredaran narkotika
8. Pengguna jasa menerima dana hanya dari beberapa pihak saja dengan total nominal yang sangat besar kemudian ditransfer ke banyak pihak dengan nominal yang kecil
9. Terdapat transaksi yang masih aktif pada rekening dengan identitas yang sudah tidak berlaku lagi
10. Pengguna jasa sering melakukan transaksi dengan pihak yang terkena sanksi dari OFAC (Office of Foreign Asset Control)
Indikator-indikator ini jelas masih sangat mungkin berkembang, sebab ini menyesuaikan dengan semakin canggihnya upaya para bandar narkoba untuk menghalalkan uang haram mereka.
"Karena itu harus lebih rajin dalam mempelajari atau melaksanakan riset terhadap tipologi TPPU. Polanya itu semakin canggih," kata Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin.
Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin saat wawancara dengan VIVA.co.id. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)
Sejauh ini, kata Badaruddin, berdasarkan temuan mereka perihal ragam transaksi yang sering digunakan oleh para bandar narkoba bentuknya seperti pemanfaatan Kelompok Usaha Pedagang Valuta Asing (KUVA), pola Halawa, yakni mengirimkan uang namun uangnya fiktif. "Jadi pembukuannya saja yang berjalan, fisiknya tidak, Sehingga kalau kita menunggu di bank, ya gak ada uangnya," kata Badarudin.
Atas itu, kata Badaruddin, diperlukan sinergi semua pihak untuk menelusur dan membaca jejak uang haram bisnis narkoba. Sebab beberapa praktik yang sudah digunakan mereka dan kemudian tercium oleh petugas, umumnya akan disiasati dengan cara lain.
"Jadi memang sangat banyak permainan mereka. Kita selalu bertukar informasi dengan BNN, Bea Cukai, kepolisian dan sebagainya," lanjut dia.
Analis Pasar Uang dari Bank Mandiri, Reny Eka Putri, mengungkapkan para pelaku pencucian uang memang kerap menggunakan valuta asing untuk transaksi. Sebab dengan cara itu, maka selain sulit terlacak, para pelaku juga memiliki keleluasaan untuk membawa asetnya ke luar negeri.
"Biar tidak ketahuan memang harus pake valas," kata Reny. Dia pun mengakui jika pengawasan untuk pencucian uang ini memang sudah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan) dan Bank Indonesia.
Namun, lanjut Reny, praktik curang selalu menemui jalannya. "Ya namanya curang, meskipun ada pengawasan pasti cari-cari jalan," katanya.
Selanjutnya…Perang Lawan Bandar
Perang Lawan Bandar
Sudah dua tahun ini Indonesia telah menyatakan perang melawan narkoba. Data yang menyebut bahwa 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba menjadi dasar komitmen perlawanan itu di era Presiden Joko Widodo.
Sejumlah cara pun dilakukan mulai dari eksekusi mati hingga penggencaran penangkapan bandar narkoba dan pengawasan ketat jalur masuk narkoba menjadi prioritas.
Sejauh ini, merujuk data akhir BNN pada tahun 2016, telah ada 807 kasus terungkap dan mengamankan 1.238 tersangka, dengan 21 diantaranya adalah warga negara asing. Sementara untuk kasus TPPU narkotika mencapai 21 kasus, dengan aset berhasil disita yakni senilai Rp261,86 miliar.
Jumlah itu, menurut BNN, meningkat 56 persen untuk pengungkapan kasus narkotika dibanding tahun 2015 yang hanya 638 kasus dan meningkat 58 persen untuk kasus TPPU narkotika.
Meski begitu, menurut Ketua Gerakan Anti Narkotika (Granat) Hendri Yosodiningrat, keberhasilan itu tetap belum maksimal. Mengingat bahwa praktik sebaran narkoba di Indonesia kini begitu mudah didapat.
"Mencari narkoba (di Indonesia) itu sama halnya kita mencari teh botol, dimana-mana bisa dicari dan sangat mudah didapat," kata Hendri.
Atas itu, Hendri memastikan meski kini BNN dan kepolisian telah berupaya memaksimalkan perburuannya. Secara fakta, pemerintah tetap gagal dalam upaya mengurangi masuknya narkoba dan menjerat orang Indonesia.
Hal itu ditengarai oleh lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sementara para penjahat narkoba kini sudah berbisnis secara terorganisir. "Kita masih tidak mampu mengikutinya (praktik bisnis narkoba)" kata Hendri.
Kepala Bagian Humas BNN Kombes Pol Sulistriandri Atmoko, mengakui bila memang proses perlawanan terhadap penjahat narkoba tak mudah. Ia menyebut butuh sinergisitas semua pihak untuk perlawanan ini.
Sebab, dalam praktik, selama ini BNN selalu menjadi ujung tombak pemberantasan. Padahal, perlawanan terhadap narkotika adalah tanggung jawab bersama siapa pun.
Keterbatasan BNN yang hanya memiliki 4.700 personel se Indonesia dan anggaran yang begitu minim hanya Rp1,3 triliun per tahun membuat kerja BNN terasa begitu berat. "Negeri ini menyatakan perang narkoba, tapi seolah-olah di kementerian dan lembaga tidak merespons bahwa itu dalam keadaan darurat. Itu yang dirasakan BNN saat ini," kata Atmoko.
Maka ia berharap bahwa sinergisitas antar lembaga dan masyarakat harus juga menjadi senjata perlawanan terhadap narkoba. Sehingga tidak semata penanganan ini menjadi tanggung jawab BNN.
Sejumlah siswa SD Muhammadiyah 5 Surabaya mengikuti kegiatan Gebyar Hari Inspiratif Anti Narkoba di Surabaya, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Entah itu dari segi pendidikan, program-program pencegahan soal narkoba dan lain sebagainya. Dengan demikian keterbatasan BNN selama ini dapat ditambal.
"Presiden sudah nyatakan perang, seyogyanya para pembantu juga mengambil peran. Kalau itu tidak dilakukan pencegahan tidak akan berjalan," kata Atmoko.
Dari sisi kepolisian, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Rikwanto, juga tak menampik jika memang upaya perlawanan terhadap narkoba di Indonesia memang cukup rumit.
Sebabnya, meski kini banyak penangkapan terhadap pelaku, fakta nyatanya menunjukkan bahwa peredaran narkotika juga masih marak. "Istilahnya ketangkap satu lolos empat. Itu realita lapangan," katanya.
Apalagi saat ini, kata dia, pengedar kini juga membuat banyak varian baru narkoba, dan itu tak peduli menyasar umur berapa pun. Jalur masuknya pun juga terus berkembang lebih pesat. Bahkan ada satu yang sudah dijaga, pelaku membuka jalur lain.
"Jadi harus sama-sama (menanganinya). Sama-sama mencari pelaku, pengedar kemudian mengungkap kasus yang sudah ada. Intinya kita harus sinergi," kata Rikwanto.
Ya, narkoba memang bak jamur di musim hujan. Ia selalu muncul dan ada sepanjang waktu. Dengan beragam bentuk dan modus. Upaya pemberantasan hingga memiskinkan para bandarnya memang patut dilakukan.
Namun, upaya lebih juga harus dilakukan. Narkoba tidak cuma merusak mental dan kesehatan namun kini sudah menjadi kejahatan luar biasa yang bisa berdampak pada seluruh sektor.
"Narkoba adalah kejahatan ekonomi. Pencucian uang atas bisnis ini tidak bisa ditolerir. Sebab dipastikan uang itu akan digunakan untuk mengkapitalisasi segala bentuk kejahatan lain," ujar anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto. (ren)