Strategi untuk Antisipasi Konflik di Laut China Selatan
- ANTARA FOTO/Siswowidodo
VIVA.co.id – Kerja sama pertahanan dengan negara tetangga diperlukan untuk mengantisipasi dinamika konflik teritorial wilayah seperti persoalan Laut China Selatan. Tak hanya kerja sama, namun perlu disiapkan upaya penguatan teritorial untuk mengantisipasi potensi meletusnya konflik di Laut China Selatan.
Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan, perlu ada sistem pertahanan yang dibangun TNI terutama TNI AL dan AU. Terkait hal ini, membutuhkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang menyesuaikan kebutuhan.
“Itu dipandang penting, berbagai peralatan baru untuk mengantisipasi dinamika dan potensi meletusnya konflik di Laut China Selatan,” kata perempuan yang akrab disapa Nuning itu dalam keterangan tertulisnya yang diterima VIVA.co.id, Rabu, 10 Mei 2017.
Dia menambahkan, antisipasi lain dengan rutin melakukan latihan siaga tempur. Pihak Komando Armada Kawasan Barat (Koarmabar) dinilai harus meningkatkan intensitas kerja sama taktis antara kapal dan pesawat tempur Komando Operasi Angkatan Udara (Koops AU) I
Diharapkan dengan latihan siaga tempur maka bisa meningkatkan kemampuan prosedur komunikasi dengan pesawat-pesawat tempur TNI AU. Kemudian, pihak TNI AU juga harus aktif memulai berlatih mengendalikan drone hingga jarak lebih dari 50 kilometer.
“Selain deteksi dini dengan pesawat tempur TNI AU dan drone, maka perlu penambahan radar-radar early warning dan radar-radar surveillance untuk mendeteksi kehadiran pesawat tempur dan kapal-kapal Coast Guard China,” tutur Nuning.
Kemudian, di daerah terdekat seperti perairan Anambas sampai Bangka Belitung juga harus diperkuat dengan memasang peralatan sonar portable. Langkah ini diperlukan untuk mendeteksi potensi kapal selam China jika melakukan penyusupan ke perairan Indonesia.
Ilustrasi kapal tempur patroli TNI AL.
Nuning mengkhawatirkan jika tak melakukan antisipasi dini, maka risiko yang dihadapi pihak TNI terutama Koarmabar akan berat.
“Sebagai contoh, jika pesawat tempur TNI AU dan sistem pertahanan udara kapal-kapal Koarmabar tak disiapkan dengan baik, maka serangan udara China sulit dicegah,” tuturnya.
Kerja Sama seminar
Selain itu, disarankan dilakukan kerja sama intelijen dan pertahanan dalam skema arsitektur kawasan dengan negara tetangga. Selain Malaysia, Filipina, Indonesia bisa menggandeng Australia dalam kerja sama ini. Karena bukan hanya Laut China Selatan, namun juga potensi konflik Laut China Timur yang perlu diantisipasi.
“Kerja sama ini bisa dilakukan Koarmabar dengan angkatan laut negara-negara tetangga yang berkonflik dengan China di Laut China Selatan. Minimal, Angkatan Laut negara-negara tersebut dapat memberikan data intelijen pergerakan kekuatan China,” kata Nuning.
Dalam kerja sama yang efisien, menurut Nuning, bisa dilakukan dengan bentuk seminar internasional secara rutin. Contohnya, seminar internasional yang rutin digelar setiap tahun oleh Universitas Pertahanan (Unhan) dengan Ikatan Alumni Pertahanan Indonesia-Australia (Ikahan). Acara seminar rutin yang digelar sejak 2011 itu digelar kembali pada Selasa, kemarin.
Pihak yang hadir dalam seminar ini antara lain pejabat Kementerian Pertahanan, Lemhanas, Kedubes Australia di Jakarta, Mabes TNI dan Fakultas Manajemen Pertahanan (FMP), Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan. Kemudian, perwakilan dari Australian National University dan Institute for Defense and Strategic Research (IDSR).
Tampil sebagai salah satu pembicara dalam seminar, Dekan FMP Unhan Laksda TNI, Amarulla Octavian yang menyampaikan beberapa pemikiran akademis. Ia memaparkan materi berjudul ‘Developing Indonesia’s Military and Non Military Maritime Security Capabilities’.
Secara khusus dibahas juga implementasi kepentingan nasional pada 'Trilateral Maritime Patrols on Sulu Sea' oleh tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Filipina. Hal ini menyesuaikan tanggung jawab negara pantai berdasarkan Hukum Laut Internasional 1982 yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.