Wapres Sebut Khilafah ala HTI Tak Cocok di Zaman Modern
- ANTARA/Siswowidodo
VIVA.co.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik konsep khilafah atau pemerintah Islam sedunia dengan kepemimpinan tunggal yang dikampanyekan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menurut Kalla, pemerintahan Islam dengan satu pemimpin untuk urusan ketatanegaraan dan keagamaan seperti itu tak lagi cocok diterapkan di zaman modern. Begitu pun di Indonesia dengan dasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
"Kekhalifahan artinya kembali kepada zaman lalu, di mana di zaman itu, kepala pemerintahan sama juga merangkap pimpinan agama, seperti zaman Umayyah, Abbasiyah, atau pun terakhir, Ottoman," kata Kalla di Jakarta, Selasa, 9 Mei 2017.
Kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama yang memerintah pada 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitar (beribu kota di Damaskus) serta pada 756 sampai 1031 di Cordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Cordoba.
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad, Irak. Kekhalifahan itu berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. Abbasiyah berkuasa setelah merebut kekuasaan dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya, kecuali Andalusia.
Kekhalifahan Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah adalah imperium lintas benua. Sepanjang abad 16 dan 17, pada puncak kekuasaan di bawah pemerintahan Suleiman agung, Kesultanan Utsmaniyah menjadi negara terkuat di dunia yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika.
Konsep pemerintahan lintas batas semacam itu, kata Kalla, tak lagi relevan di masa sekarang. Masing-masing negara di dunia memiliki hukum dan peraturan sendiri. "Jadi, paham itu memang tidak sesuai dengan konsep kenegaraan yang kita anut sekarang."
Negara dan agama terpisah
Kalla berpendapat, seiring perkembangan umat manusia, konsep otoritas kebangsaan dan otoritas agama menjadi terpisah. Dia mencontohkan otoritas Katolik di Vatikan, Islam Syiah di Iran, hingga Islam secara umum di Mekkah, Arab Saudi.
Meski otoritas agama dan negara telah terpisah, umat beragama dari bangsa mana pun akan tetap menjalankan kegiatan keagamaannya mengacu kepada keputusan-keputusan yang dibuat otoritas agama mereka. Hal itu bukan sesuatu yang salah.
"Banyak juga orang Islam yang ikut fatwa-fatwa dari ulama-ulama, katakanlah, di Mekkah. Tapi kalau (terkait) kenegaraan tidak boleh (mengacu kepada keputusan otoritas negara lain). Salah apabila ingin menggabungkan dua kepemimpinan itu (menjadi) pemimpin agama dan pemerintahan untuk tanpa batas," ujarnya.
Jalur hukum
Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa pembubaran HTI tak mungkin hanya berdasarkan keputusan politik. Pemerintah juga menempuh jalur hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Lembaga yang berwenang memutuskan pembubaran HTI adalah pengadilan.
"Seperti juga Anda baca, prosesnya itu nanti lewat hukum; pengadilan. Karena saya sudah membaca juga statement. Saya bicara sebelumnya juga dengan Pak Wiranto (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) juga bahwa itu (pembubaran) prosesnya proses hukum," kata Kalla. (ase)