Kasus BLBI, Wapres JK: Pelaksana yang Salah Bukan Aturannya
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyebut kebijakan 'blanket guarantee' atau penjaminan secara menyeluruh terhadap perbankan oleh pemerintah sebagai asal kisruh dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, jika terjadi dugaan korupsi, menurut Wapres, yang salah pihak pelaksana, bukan kebijakan aturan.
"Yang salah bukan peraturannya, tapi pelaksanaannya. Nah, karena itu yang bertanggung jawab, siapa yang melaksanakan?” ujar JK di kantor Wapres, Selasa, 2 Mei 2017.
JK mengingatkan, dalam kasus ini, pelaksanaan aturan kebijakan seharusnya bisa clear dan clean. Tapi, kenyataannya persoalan terjadi dalam pelaksanaannya.
"Melaksanakan aturan-aturan tentang clear and clean itu, atau release and discharge itu. Orang itu dianggap selesai, dikeluarkan dari daftar. Padahal, dia belum lunas. Kalau sudah bayar, ya diputihkan. Jadi, bukan aturannya yang salah, tapi pelaksananya," tuturnya.
Menurut JK, kebijakan menjadi penyebab pemerintahan selanjutnya melakukan tindak lanjut dengan menerbitkan kebijakan turunan. Hal ini termasuk Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.
Tindak lanjut pemerintah terhadap kebijakan selanjutnya membuat korupsi terhadap dana BLBI sebesar Rp147,7 triliun yang disalurkan kepada 48 bank terjadi. Akibat korupsi itu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan negara merugi Rp138,4 triliun, atau 95,878 persen dari total dana BLBI.
"Semua (pemerintah setelah era Soeharto) hanya membikin kebijakannya saja saat itu. Dan (masalah BLBI) dimulai dari Pak Harto. Dan BLBI ini hanya ada satu hal (penyebabnya), adanya blanket guarantee. Bahwa semua perbankan dijamin pemerintah jika ada masalah. Itu awalnya. Sehingga terjadi kebocoran yang luar biasa, akibat blanket guarantee itu, dan sekarang kita tanggung semuanya," kata JK.
Blanket guarantee tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keppres itu ditandatangani Presiden RI ke-2 Soeharto, awal 1998. Saat itu, pemerintah Orde Baru ingin menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang diterpa masalah kesulitan likuiditas.
Inpres Nomor 8 Tahun 2002, adalah latar belakang mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, yang saat mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004. Tindakan itu diduga berkontribusi terhadap timbulnya kerugian negara dari penyaluran dana BLBI sebesar Rp3,7 triliun.
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan seorang tersangka dalam kasus BLBI yaitu mantan Kepala BPPN, Syafruddi Arsyad Tumenggung. KPK terus memanggil beberapa pihak terkait untuk dimintai keterangan dalam kasus ini.