Kisah Pilu Bocah Desa Banaran, Yatim Piatu karena Longsor
- VIVA/Nur Faishal
VIVA.co.id – Lantunan salawat belum selesai betul ketika tubuh seorang gadis berjilbab tiba-tiba roboh di antara kerumunan orang di kantor Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada Senin malam, 17 April 2017. Maya Febriani, nama gadis itu, adalah anak dari salah satu korban longsor Banaran, Muhammad Muklison.
Malam itu, kantor Kecamatan Pulung dipenuhi warga setempat untuk melaksanakan tahlilan dan doa bersama untuk 28 korban jiwa longsor Banaran. 19 ahli waris korban dihadirkan, termasuk Maya, untuk memperoleh santunan kematian dari Kementerian Sosial dan bantuan lainnya dari Pemerintah Kabupaten setempat.
Seusai doa bersama, 19 ahli waris korban diminta berdiri di depan. Secara bergiliran, mereka menerima bantuan santunan kematian secara simbolik dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan Bupati Ponorogo Ipong Muchlison. Didampingi seorang petugas dari Kementerian Sosial setempat, Maya berdiri di ujung barisan para ahli waris korban.
Sejak awal, Maya memang terlihat lebih muram dibandingkan ahli waris korban yang lain. Tatapannya terlihat kosong. Selama acara bibirnya terkatup. "Maaf, Mas. Mohon sedikit mundur," kata petugas pendamping Maya kepada VIVA.co.id ketika mengambil gambar momen penyerahan santunan.
Menteri Khofifah sempat menyerahkan santunan kepada gadis manis itu. Sedikit ucapan menguatkan disampaikan Khofifah, Maya tiba-tiba limbung. Oleh petugas dari Kemensos, dia lalu dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat yang berada tak jauh dari kantor kecamatan.
Berdasarkan penuturan warga, sejak kecil Maya hanya tinggal berdua dengan ayahnya, Muhammad Muklison. Sementara ibunya, Rumini, bekerja di Hong Kong sebagai tenaga kerja wanita. "Maya dua bersaudara. Kakaknya perempuan (Westik) sudah tinggal di Ngawi jadi bidan," kata Tajib, koordinator TKSK Kemensos Ponorogo.
Sejak longsor menelan tubuh ayahnya dan belum ditemukan, Maya berkali-kali tidak sadarkan diri. Bahkan tiga hari dia sempat dirawat di rumah sakit, mungkin karena tekanan batin ditinggal ayahnya. "Mungkin karena selama ini hanya tinggal berdua dengan ayahnya, dia shock," ujar Tajib.
Bukan hanya Maya yang kehilangan orang tua. Longsor Ponorogo juga menyebabkan beberapa anak lain jadi yatim-piatu. Yakni Hadi Purwanto (15 tahun) dan adiknya, Farhan Dwinata (13), yang kehilangan ayahnya, Menit. "Ibunya sudah lama meninggal," papar Tajib.
Bocah bernama Brian lebih malang lagi. Dalam usia tujuh tahun dia ditinggal ayah-ibunya, Poniran-Suprapti, yang ikut tertimbun longsor Banaran dan hingga kini belum ditemukan. Ada lagi Henky Kurniawan (7) yang kehilangan ayahnya, Nadi. "Istri korban cerai lama dan pergi tidak ada kabar," kata Tajib.
Mensos Khofifah mengatakan, santunan kematian diberikan kepada ahli waris korban masing-masing Rp15 juta. Dia meminta keluarga korban bersabar dalam menghadapi musibah yang menimpa. "Yang sabar," katanya sembari memeluk ahli waris korban.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan bahwa proses evakuasi korban longsor Ponorogo tersisa dihentikan karena batas waktu pencarian yang ditentukan sudah habis. Selain itu, lokasi pencarian juga berbahaya terhadap keselamatan petugas gabungan, setelah sempat terjadi longsor susulan.
Ada rencana, lokasi longsor akan langsung dijadikan kuburan 'massal' terhadap jasad 24 korban yang belum ditemukan. Tetapi hal itu perlu disepakati oleh masyarakat setempat, terutama pihak keluarga korban.
"Apakah dijadikan kuburan massal atau bagaimana, sementara dibicarakan dengan keluarganya," kata Soekarwo di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jawa Timur, Kamis pekan lalu.
Bencana longsor terjadi di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, pada Sabtu pagi, 1 April 2017. Informasi awal menyebutkan, longsor terjadi sekira pukul 09.30 WIB akibat tanah bergerak. Longsor menimpa rumah warga di empat rukun warga dan mengurung sekira 28 orang.