Kebun Jahe dan Sebab Longsor Ponorogo, Apa Kaitannya?
- VIVA.co.id/ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko
VIVA.co.id – Bencana longsor yang merenggut nyawa dua orang dan menghilangkan 26 warga di Desa Banaran Kecamatan Pulung Ponorogo ditengarai karena minimnya tanaman yang bisa menahan laju erosi tanah. Sementara, kondisi daerah itu dikelilingi oleh bukit yang memiliki kemiringan hingga 70 derajat.
Menurut Gubernur Jawa Timur Soekarwo kondisi tanah di selatan Pulau Jawa itu sejak lama memang sudah dikenal subur. Dahulu daerah itu sempat ditanami tanaman jeruk oleh warga.
Namun kemudian kini berubah menjadi tanaman Olerikultura yang tak memiliki akar kuat namun cepat panen. Seperti Jahe salah satunya. "Kalau kemiringan 70 (derajat) itu batu, enggak apa-apa, tapi kalau tanah subur, itu berbahaya," katanya.
Tak cuma itu, kata pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu, kondisi rawan lainnya adalah hampir semua warga di Kecamatan Pulung tinggal di dekat aliran sungai yang berada di bawah perbukitan.
"Hampir petanya semua begitu, warga tinggal di sekitar aliran sungai," ujarnya.
Dan kondisi itu juga serupa di tiga kecamatan lain di Ponorogo. "Saya minta pendapat Perhutani, apa kira-kira tanaman pengganti sebanding jahe keuntungannya, tapi punya akar," ujarnya.
Relokasi di lahan warga
Di bagian lain, soal relokasi korban longsor di Dusun Tangkil Desa Banaran, awalnya direncanakan akan menggunakan lahan milik Perhutani.
Namun kemudian dibatalkan karena berada di atas bukit dan rawan. Akhirnya lahan yang disetujui adalah milik tokoh desa setempat. "BNPB menggandeng geolog dari UGM agar mengidentifikasi tingkat keamanannya dipakai lahan relokasi," kata Pakde Karwo.
Selain untuk mencari korban, kata Ketua DPD Partai Demokrat itu, evakuasi guguran tanah longsor tetap harus dilakukan karena menutup akses jalan dan sungai. Guguran tanah itu berbahaya bagi warga yang tinggal di bawah ketika hujan deras terjadi.