Isu Penculikan Anak dan Mudahnya Menghakimi Orang
- www.osce.org
VIVA.co.id – Hampir sebulan ini isu penculikan anak merebak di sejumlah wilayah Indonesia. Informasi itu menakutkan, apalagi dibumbui dengan kabar bahwa anak yang diculik itu akan dikuliti dan organ tubuhnya diambil.
Siapa pun orangtua, jelas ketakutan mendengarnya. Bayangkan saja, siapa yang tidak emosi mendengar anaknya diculik lalu dibunuh untuk diambil jantung, hati, mata, telinga, tangan, ginjal dan lain sebagainya.
Lalu benarkah informasi itu? Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, pihaknya sudah memastikan Informasi pencurian organ itu jelas palsu atau hoax.
Sejak awal beredar, Kepolisian sudah melakukan penelusuran hingga ke berbagai daerah. "Saya sudah cek di Manado, Sumatera Utara dan beberapa wilayah lain, termasuk di Jakarta. Berita tersebut adalah hoax," kata Tito, Kamis, 23 Maret 2017.
Tito menduga, memang ada pihak yang sengaja mengembuskan isu itu beredar di masyarakat. Tak jelas motifnya, namun dipastikan bahwa itu dibangun untuk menimbulkan keresahan dan akhirnya berbuah pada tindakan kekerasan.
"Ada pihak ketiga yang sengaja menaikkan isu negatif untuk menimbulkan kekerasan," kata Tito.
Penculikan adalah fakta
Secara prinsip, ketakutan yang dirasakan warga soal penculikan anak, sesungguhnya tidak bisa dipungkiri bukanlah informasi hoax atau palsu.
Ini merujuk pada data yang dimiliki oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dimana tercatat memang ada kenaikan kasus penculikan anak dari tahun 2014 hingga 2017.
Motif penculikan ini beragam, mulai dari adopsi secara ilegal, balas dendam atau meminta tebusan, diperkerjakan paksa dan hingga ekspolitasi untuk seks komersil.
Kasus Penculikan Anak
2014 51 kasus
2015 87 kasus
2016 112 kasus
2017 27 Kasus (Maret)
Bahkan, di balik kenaikan itu, modus penculikan ternyata juga berubah seiring waktu. Termasuk salah satunya adalah dengan berpura-pura menjadi pengemis atau orang gila agar bisa mengelabui calon korban atau warga.
"Tidak ada lagi penculik yang menggunakan motor langsung ambil anak atau memasukkan dalam mobil. Sekarang sudah banyak macamnya," kata Arist Merdeka Sirait, dari Komnas Perlindungan Anak.
Efek jejaring sosial
Ya, kasus penculikan anak bukanlah berita palsu atau hoax. Fakta memang menunjukkan ada kenaikan tren kasus penculikan namun tidak ada yang namanya pembantaian atau hingga pembunuhan untuk penjualan organ.
Namun belakangan, klaim polisi soal informasi hoax itu tetap tak berpengaruh. Era jejaring sosial yang melimpah dan begitu mudah diakses publik, membuat informasi resmi itu tertutupi.
Publik tak mempercayai bahwa penculikan untuk organ tubuh itu, adalah palsu. Sebab di jejaring sosial begitu melimpah beberapa gambar, pesan hingga video yang menampilkan bahwa memang ada anak-anak yang sedang dikuliti, dibantai dan dipotong-potong.
Meski hingga kini, tak jelas dari mana gambar serta video itu beredar. Namun itulah yang kini diakses dan dipercaya publik.
Ilustrasi/Pengidap gangguan jiwa
Dibumbui lagi dengan pesan berantai yang semakin membuat takut. Alhasil, isu penculikan anak disertai mutilasi untuk penjualan organ tubuh dengan cepat meluas, masif dan memicu reaksi.
Di Sumenep Madura, reaksi ini muncul dengan aksi pemukulan dan penganiayaan terhadap tiga pengidap gangguan jiwa. Lantaran karena mempercayai bahwa ciri penculik anak itu adalah berpura-pura gila atau seperti pengemis, akhirnya para pengidap gangguan jiwa di daerah itu jadi korban.
Mereka dipukuli hingga hampir mati, tubuhnya penuh darah, diseret dan diantar ke kantor polisi dengan keadaan sudah nyaris mati.
Kasus serupa juga terjadi di Sumatera. Di Sumatera Selatan, dua perempuan pengidap gangguan jiwa, Kus dan Mul, juga menjadi korban kalapnya warga.
Cuma karena melihat mereka membawa karung dan berpakaian lusuh, aksi penganiayaan tak berprikemanusiaan pun bak menjadi legal. Massa ramai-ramai menyeret dan menggelandang dua perempuan yang belakangan terbukti tidak waras karena kencing di ruang penyidik polisi.
"Saat diperiksa jawabnya juga ngelantur dan sulit diinterogasi," kata Kapolres Empat Lawang Sumatera Selatan, AKBP Bayu Dewantoro, Jumat, 24 Maret 2017.
Berbuah kematian
Dan yang paling parah adalah, isu itu berbuah pada kematian. Ini menimpa Maman Budiman (53), seorang kakek yang hendak menjenguk cucunya di Desa Amawang Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.
Lelaki malang ini pun meregang nyawa dengan tubuh remuk dan bersimbah darah. Buah tangan berupa petai, sate dan beras untuk cucunya, tak cukup dipercaya jika ia hendak berkunjung menemui cucunya.
Warga terlampau kalap dan latah dengan isu bahwa orang yang membawa karung adalah penculik anak. Polisi pun lagi-lagi tak bisa berbuat banyak. "Massa membabibuta mengeroyok korban," kata Kapolda Kalimantan Barat, Inspektur Jenderal Polisi Musyafak, Senin, 27 Maret 2017.
Lalu, harus berapa banyak korban serupa karena kekalapan warga ini? Sejauh ini memang belum ada data kompilasi berapa banyak orang yang telah menjadi korban akibat kekerasan massa tersebut.
Namun, ini sudah menggejala di seluruh daerah. Jejaring sosial pun terbukti telah menjadi pemicu kekerasan luar biasa dan terorganisir bagi publik.
Sangat mungkin apa yang dialami Maman di Mempawah bukan yang pertama terjadi. Ini harus disikapi oleh semua dan butuh komitmen serius Kepolisian dan warga. Tidak cuma sekadar mengingatkan dan mengimbau.
Karena faktanya, imbauan itu telah diberikan namun tetap kalah dengan apa yang beredar di media sosial. "Kita cerdas saja dalam membaca fenomena berita di medsos, jangan sampai terpancing," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto. (mus)