Operator Angkutan Online Disarankan Transparan soal Data
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
VIVA.co.id – Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika menilai, tidak adanya data terkait besar pasar angkutan umum yang didapat transportasi online membuat pemerintah sulit membuat regulasi. Hal ini ditambah dengan minimnya kajian mengenai transportasi online sehingga jika ada dampak sosial, pemerintah terkesan lamban mengantisipasi.
"Pemilik aplikasi minimal juga harus membuka data, sehingga kita bisa tahu berapa banyak sih trip angkutan online dalam sehari? Katanya kan sampai 1,5 juta sehari. Nah ini mengambil market berapa persen dari market yang ada selama ini. Hitung-hitungan itu belum ada sampai sekarang," kata Harryadin dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 25 Maret 2017.
Harryadin mengatakan, langkah ini sebenarnya cukup penting dilakukan karena di dalamnya terdapat sejumlah kepentingan dari pihak-pihak terkait, termasuk dari driver dan konsumen.
"Karena stakeholder-nya banyak, jadi ini penting bagi semua pihak yang terlibat, termasuk konsumen dan driver. Driver kan juga harus tahu berapa penghasilannya secara pasti, sehingga dia bisa tahu berapa target dan penghasilannya," lanjutnya.
Meski demikian, dia mengaku bahwa penerapan hal semacam ini merupakan tantangan bagi semua pihak, dalam berkontribusi menyelesaikan polemik jasa angkutan tersebut. Maka, Harryadin menekankan pemerintah juga harus banyak belajar dari sejumlah negara, yang dianggap berhasil menerapkan regulasi angkutan umum berbasis aplikasi online tersebut seperti misalnya Prancis.
"Prancis berhasil meregulasi ini dan bisa koordinasi baik dengan Uber. Jadi selain meregulasi taksi online, mereka juga mendorong agar taksi konvensional yang umumnya beroperasi secara mandiri tanpa perusahaan, untuk bergabung dengan perusahaan taksi online tersebut," ujarnya.